"Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah."

Terbaru

Tampilkan postingan dengan label Myanmar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Myanmar. Tampilkan semua postingan

Media massa dan upaya global untuk mengadu domba komunitas etnik dan agama

Written By Ray Maleke on Selasa, 27 Agustus 2013 | 09:38

MP – Identitas etnis dan agama adalah dua topik populer dalam ilmu sosial (social science). Para ahli bidang ini telah menjelajahi berbagai aspek yang menyebabkan keduanya mendapat tempat yang signifikan dalam masyarakat di berbagai belahan dunia.

Istilah “blind loyalties” (lit. kesetiaan yang buta) turut disebut sebagai bagian dari kedua identitas manusia tersebut. Manusia rela berkorban segalanya ketika identitas etnik atau agamanya diganggu.

Itu sebabnya isu etnik dan agama adalah isu yang sangat sensitif. Sedemikian sensitif sehingga “kesetiaan yang buta” itu pun rentan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan; dan itu biasanya menyangkut keserakahan ekonomi, dominasi politik, sampai pada kebencian terhadap agama.

Telah lama media massa dianggap sebagai corong kebenaran; memaparkan fakta dan peristiwa; sebagai sumber informasi yang membawa penerangan bagi masyarakat.

Imej ini telah berubah 180 derajat.

Di Amerika Serikat (AS), Gallup poll menunjukkan bahwa 60% masyarakat AS tidak percaya pada pemberitaan media televisi arus utama.

Sebuah pertanyaan di Yahoo!answer adalah “Apakah Anda lebih percaya media arus utama, blog, atau talk radio?” Jawaban terbaik yang dipilih adalah: “Blog dan talk radio sudah bermuatan kepentingan (biased), media arus utama tidak jauh berbeda.

“Saya mempertimbangkan berita dengan melihat beberapa sumber (beberapa media arus utama: televisi, koran, terbitan online) baru saya membuat penilaian sendiri.”

Benarlah apa yang ditulis Joecutlas (April 22, 2013), “Anyone that does not acknowledge that the mainstream media has an agenda is not being honest with themselves” (setiap orang yang tidak mengakui bahwa media arus utama memiliki agenda adalah tidak jujur terhadap diri mereka sendiri) (ireport.cnn.com)

Kenyataannya adalah tidak hanya media arus utama yang mempunyai agenda atau kepentingan.

Baik blog, radio, atau media lainnya yang menjangkau masyarakat mempunyai kepentingan dan agenda.

Pertanyaannya adalah agenda dan kepentingan apa yang mereka wakili. (Itu sebabnya, saya setuju jawaban terbaik yang dipilih di Yahoo!answer).

Dalam berbagai pemberitaan media besar yang meliput konflik-konflik horizontal, kita dapati bahwa konflik-konflik itu sering ditaruh dalam kerangka “genosida” (pembantaian etnik) atau perang agama, termasuk yang paling luas dilakukan adalah religious profiling, seperti yang nampak dalam istilah: Islamis, ultra orthodoks Yahudi, Kristen konservatif, Buddhist mob, Hindu radikal, dsb. 

Istilah-istilah ini cenderung menyederhanakan masalah dan terkesan dipakai serampangan, jika bukan dengan maksud tersembunyi untuk menyudutkan komunitas etnik dan agama.

Kelompok-kelompok yang terlibat konflik memang bisa memakai nama agama atau etnik, namun sebuah pertikaian yang disulut oleh kepentingan politik dan ekonomi seharusnyalah tidak disebut sebagai pertikaian etnik atau agama, atau dilabel dengan label agamais. 

Sayangnya sejumlah media Indonesia arus utama masih berkutat dengan kebiasaan copy-paste berita luar negeri. 

Pengaruhnya terhadap masyarakat pembaca, terutama yang memiliki ikatan kuat terhadap identitas etnik dan agama, tidak bisa dianggap remeh.

Contoh kasus adalah pembunuhan warga Myanmar (Burma) di kantor imigrasi Sumatera dan pemboman vihara di Jakarta baru-baru ini. Keduanya berkaitan dengan pemberitaan media mengenai konflik komunal yang terjadi di Myanmar, yang telah direduksi menjadi konflik antar agama dan etnis.

Media harus bisa lebih baik dalam melakukan pemberitaan, sehingga tidak terjebak dalam mengabadikan konflik kemanusiaan, atau lebih parah lagi secara sengaja melakukannya lewat pemberitaan provokatif. 

Masyarakat juga perlu mengingat “jawaban terbaik” di atas. Tidak bisa hanya mendengar atau melihat laporan berita dan kemudian terprovokasi dengan “blind loyality.”

Kecintaan dan kebanggaan terhadap etnis dan agama sebenarnya tak harus buta. Semua itu dapat dan seharusnya datang dari kesadaran dan pilihan intelektual kita.

Dengan kesadaran agama dan penghargaannya pada nilai-nilai kemanusiaan, komunitas etnik dan agama takkan mudah diadu domba untuk saling menghancurkan dan membinasakan. Sebaliknya, kita semua dapat menjembatani perselisihan, mencari jalan keluar bersama dan menciptakan perdamaian. 
































Kematian 8 warga Myanmar mempermalukan Indonesia: Waspada provokasi

Written By Ray Maleke on Sabtu, 06 April 2013 | 21:28

Apakah mereka ini adalah Muslim atau pengikut Buddha?
Apakah mereka Rohingya atau Burma? Apapun mereka
mereka adalah manusia.
INDONESIA, Sumatera (MP) -- Inilah akibatnya ketika media memproyeksikan dan membakar suatu konflik sebagai konflik sektarian, terutama menyangkut suku dan agama. Entah mengapa media sekarang banyak kali terkesan kehilangan kekritisan dalam menempatkan masalah. Ataukah ada kesengajaan?

Sebuah peristiwa menyedihkan terjadi di salah satu pusat keimigrasian di Sumatera yang menyebabkan delapan orang meninggal. Mereka ini adalah nelayan Myanmar (Burma).

Menurut laporan Jakarta Globe para pelaku adalah para pengungsi Rohingya.1

Peristiwa tragis di pusat keimigrasian itu terjadi setelah para pengungsi Rohingya melihat “gambaran kekerasan yang terjadi “antara non-Rohingya Muslim dan pemeluk Agama Buddha”2 (Sebagai contoh. Coba pikir apakah penulis berita tersebut tahu bahwa semua yang terlibat adalah Muslim dan Buddha?)

Konflik di Myanmar dalam rangka reformasi politik sarat dengan berbagai kepentingan, baik domestik maupun pihak luar.

Kekerasan komunal kembali terjadi bulan lalu dan diberitakan dipicu oleh adu argumen di sebuah toko emas di kota pusat Meiktila yang kemudian berubah menjadi kerusuhan, namun saksi mata mengatakan gelombang kekerasan sejak itu tampaknya telah terorganisir dengan baik.


Mengeksploitasi konflik di Asia

Betapa mudahnya mengeksploitasi sebuah konflik, dan menempatkannya dalam kesadaran yang paling dijunjung tinggi oleh kebanyakan masyarakat Asia: agama. 

Bahwa ada mesjid dibakar, rumah penganut Islam dihancurkan, apakah itu berarti para penganut agama Dharma (Buddha), misalnya, adalah pembakar mesjid dan penghancur rumah Muslim?

Tidak ada yang bisa menjamin pemberitaan demikian, dan terkesan hanya ingin menyulut masalah supaya menjadi lebih besar lagi.

Kalau konflik ini hendak juga dibawa ke Indonesia dengan mempolitisir sentimen umat Muslim dan penganut Buddha di Indonesia, maka ini merupakan sebuah politik kotor.

Bekas luka konflik Poso dan Ambon sudah cukup untuk mengingatkan bahwa menjadikan saudara kita sendiri sebagai musuh yang harus dihancurkan dan dilenyapkan adalah berarti menghancurkan dan melenyapkan diri kita sendiri.


Perlu reformasi kinerja keimigrasian dan kepolisian

Kombes. Jenderal Nanan Soekarna, wakil kepala Polri, mengatakan pada hari Jumat bahwa pihaknya sedang menyelidiki peristiwa ini.

"Kami sedang menyelidiki karena itu adalah tugas kami dan kami menyesalkan kejadian yang menyebabkan delapan orang meninggal," kata Nanan, seperti dilansir
Jakarta Globe.

Kejadian tragis di pusat keimigrasian Indonesia hanya mempermalukan Indonesia di mata internasional karena tidak dapat menjamin keselamatan warga asing di rumah tahanan. Kinerja polisi pun perlu dievaluasi karena nanti tiba di tempat kejadian setelah delapan orang yang mungkin memiliki anak dan isteri telah dibunuh dengan cara yang tidak manusiawi.*** 


1 Eight Myanmar Nationals Killed After Riot Breaks Out in Medan Detention Center, Jakarta Globe (link). 

2 Eight Myanmar Nationals Killed After Riot Breaks Out in Medan Detention Center, Jakarta Globe (link).

PBB: Myanmar harus melindungi umat Muslim dan mencegah diskriminasi

Written By Menara Penjaga on Kamis, 01 November 2012 | 08:32

Tragedi kemanusiaan: Para pengungsi Rohingya hidup
terlunta-lunta karena sejumlah negara menolak
keberadaan mereka (foto: Christophe Archambault / AFP).
SWISS, Jenewa (Reuters, 31 Oktober 2012).
 
Para penyidik hak asasi manusia PBB meminta Myanmar untuk menghentikan kekerasan sektarian maut yang sementara terjadi dan memperingatkan pemerintah untuk tidak menggunakan konflik sebagai alasan untuk menolak minoritas Muslim Rohingya.

Menurut korban resmi terbaru, dalam 10 hari terakhir ini, sekitar 89 orang telah tewas dalam bentrokan antara etnik Rakhine dan etnik Rohingya di Myanmar bagian barat.

"Situasi saat ini tidak boleh dijadikan kesempatan untuk mengeluarkan secara permanen komunitas yang tidak diinginkan," demikian pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh
Tomas Ojea Quintana, pelapor khusus PBB untuk Myanmar, dan ahli independen tentang isu-isu minoritas dan pengungsi.

Mereka menyuarakan "keprihatinan mereka yang mendalam tentang penegasan pemerintah dan pihak lainnya bahwa Rohingya adalah imigran ilegal dan merupakan orang-orang tanpa kewarganegaraan."

"Jika negara ini ingin sukses dalam proses transisi dalam berdemokrasi, negara ini harus berani dalam mengatasi tantangan hak asasi manusia yang ada," kata Ojea Quintana.
Baca seterusnya di sini.

Konflik komunal di Myanmar, 112 tewas

Written By Menara Penjaga on Jumat, 26 Oktober 2012 | 22:45

Tragedi kemanusiaan: Para pengungsi Rohingya hidup terlunta-lunta karena sejumlah negara menolak keberadaan mereka (foto: Christophe Archambault / AFP).
MYANMAR, Naypyidaw (Kompas.com, 26 Oktober 2012)

Jumlah korban tewas dalam aksi kekerasan dalam enam hari terakhir di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, terus bertambah. Jumlah korban tewas mencapai 112 orang ketika pada Jumat (26/10/2012), pasukan keamanan melepaskan tembakan untuk mengakhiri bentrok sektarian terburuk di negeri itu dalam beberapa tahun terakhir.

Warga Rakhine mengatakan kepada Reuters, mereka ditembaki pasukan keamanan yang mencoba menegakkan aturan di daerah itu, setelah kekerasan terhadap penduduk Rohingya terjadi di sejumlah distrik termasuk di distrik Kyaukpyu di mana proyek pipa China-Myanmar bernilai miliaran dollar AS berawal.

"Militer melepaskan tembakan untuk mencegah sejumlah penduduk desa menyerang sebuah komunitas Rohingya," kata Aung Kyaw Min (28) yang tertembak kakinya.

"Saya tak mengerti mengapa militer menembaki kami," tambah dia

Dalam insiden lain, Kamis (25/10/2012), militer menembaki kerumunan pengunjuk rasa anti-Rohingya di kota Kyauktaw. Insiden itu menewaskan dua pengunjuk rasa dan empat lainnya terluka.

Tindakan tegas aparat keamanan Myanmar terhadap warga Rakhine menjadi pertanda bahwa militer, yang dituding membela para pemeluk Buddha, mencoba bertindak lebih keras setelah dunia internasional mengkritik minimnya tindakan yang dilakukan Pemerintah Myanmar.

Sementara itu, PBB memperingatkan Myanmar bahwa upaya menegakkan demokrasi di negeri itu bisa hancur jika kekerasan sektarian yang sudah berlangsung hanya lima bulan setelah kerusuhan yang menewaskan 80 orang dan membuat 75.000 orang mengungsi terjadi di kawasan yang sama.

"Ikatan peraturan sosial berpotensi hancur dan upaya reformasi serta keterbukaan yang tengah diusahakan pemerintah Myanmar sangat mungkin akan terganggu," demikian pernyataan resmi Sekjen PBB Ban Ki-moon yang disampaikan melalui seorang juru bicara.

"Rasa saling curiga yang semakin dalam antar komunitas kini dikesploitasi oleh kelompok militan dan para kriminal untuk menghasilkan korban jiwa dalam skala besar," tambah Sekjen Ban.

Meningkatkan korban tewas sejak Rabu lalu, menjadi ujian terberat pemerintah Myanmar yang tengah melakukan reformasi. Pemerintah Myanmar tengah diuji untuk mengatasi perselisihan yang dipicu perbedaan etnis dan agama yang selama hampir setengah abad berhasil ditekan rezim militer yang berakhir tahun lalu.

___
Apakah etnik dan agama membuat nilai kemanusiaan sekelompok orang lebih kurang dibanding yang lainnya? Konflik yang dibakar oleh sentimen agama adalah konflik yang diciptakan oleh masyarakat yang tak menghayati keberagamaannya. Semoga pemerintah Myanmar dapat segera mempertemukan dan mendamaikan kedua belah pihak, supaya jangan ada pihak-pihak yang makan tulang di tengah penderitaan anak-anak yang paling rentan dalam sebuah konflik. [*]

Kasus Rohingya "bukan konflik etnis dan agama"

Written By Menara Penjaga on Sabtu, 11 Agustus 2012 | 11:46

Presiden Myanmar (Burma) Thein Sein
(foto: bloomberg)
MYANMAR*, Naypyidaw.
Presiden Myanmar Thein Sein menegaskan, insiden yang melibatkan warga etnis minoritas Rohingya di Negara Bagian Rakhine tak ada kaitan dengan konflik etnis dan agama, tetapi tindak kriminal biasa. Dia menyadari, amat berbahaya jika isu agama telah muncul.

Ketua Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla menjelaskan hal itu seusai bertemu Thein di kantor Presiden Myanmar di Naypyidaw, ibu kota baru negara itu, Jumat (10/8). Kalla didampingi, antara lain, Asisten Deputi Sekretaris Jenderal OKI Atta El-Manan Bakhit dan Duta Besar RI untuk Myanmar, Sebastianus Sumarsono.

”Presiden Thein Sein menjelaskan tentang kejadian di Rohingya, khususnya yang dimulai pada Juni tahun ini. Dimulai dengan kasus kriminal di antara beberapa anak muda. Lalu, ada aksi saling balas, yang dengan cepat menjadi besar,” kata Kalla, seperti dilaporkan wartawan Kompas, Pascal S Bin Saju, dari Naypyidaw.

Thein Sein mengatakan, pertikaian di antara kedua kelompok itu menyebabkan lebih dari 70 orang tewas. Menurut dia, dibandingkan kasus sektarian di negara lain, konflik di Rakhine ini tidak terlalu besar.

Thein Sein juga menjelaskan, saat ini ada 60.000 pengungsi di Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine. Mereka ditangani dengan baik berkat bantuan PBB, lembaga asing lain, termasuk Indonesia, Turki, dan negara Islam lainnya.

Menurut Thein Sein, Myanmar sangat senang dan terbuka menerima bantuan terkait kasus Rohingya. Myanmar juga siap menyalurkan bantuan itu kepada kelompok masyarakat yang menjadi korban.

Peristiwa kriminal dapat dengan mudah diprovokasi dengan sentimen agama atau etnik menjadi peristiwa berdarah yang menimbulkan korban jiwa dan materi masyarakat tak bersalah. Dialog antar-agama dan lembaga adat perlu diadakan untuk menciptakan strategi pencegahan konflik yang membawa penderitaan bagi banyak orang, dan teristimewa menghindarkan isu agama dan etnik dijadikan alat pemecah belah untuk penguasaan politik dan ekonomi dari pihak luar. Masyarakat harus pintar. (Kompas.com/MP)


Berita terkait: 50 Tewas: 'Senjata' instabilisasi di Burma

Foto-foto palsu mengenai pembunuhan umat Muslim di Burma dapat dilihat di sini.

*Myanmar disebut juga Burma
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Menara Penjaga - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger