Istilah "pluralisme" sekarang banyak kita temukan, tak jarang digunakan pada konteks yang keliru.  Kita perlu membedakan "pluralitas" dari "pluralisme."
"Pluralitas" hanya merupakan  istilah baru dari kata yang sudah akrab kita gunakan di Indonesia, yaitu "keaneka-ragaman." 
Indonesia adalah negara bhineka (berbeda-beda, beraneka-ragam) karena terdiri dari berbagai macam suku bangsa (etnis), agama, bahasa dan budaya, yang oleh sejarah kolonialisme kemudian membentuk satu Republik Indonesia atas dasar Pancasila. Dari kelima prinsip inilah nation-state (negara-bangsa) Indonesia itu didirikan.
Indonesia adalah negara bhineka (berbeda-beda, beraneka-ragam) karena terdiri dari berbagai macam suku bangsa (etnis), agama, bahasa dan budaya, yang oleh sejarah kolonialisme kemudian membentuk satu Republik Indonesia atas dasar Pancasila. Dari kelima prinsip inilah nation-state (negara-bangsa) Indonesia itu didirikan.
Sedangkan "pluralisme,"  dalam pengertian religious pluralism (pluralisme agama-agama), adalah sebuah ideologi (paham) yang melihat bahwa ”perbedaan antara agama-agama bukanlah menyangkut perkara benar atau salah,  melainkan perbedaan persepsi dari satu kebenaran” (Newbigin, 1989:14).
Jadi  tidak bisa ada truth-claim (klaim kebenaran) satu-satunya dalam sudut pandang  pluralisme agama. Analogi yang sering digunakan adalah ”banyak jalan ke Roma.”
Christian credo (pengakuan iman Kristen)
Bagaimana sikap kekristenan terhadap pluralisme agama-agama?
Kebalikan dari ’kebenaran  satu-satunya’ dari ideologi pluralisme (yaitu banyak jalan ke Roma), pengakuan iman Kristen (Christian credo) yang paling singkat dari gereja mula-mula mengatakan ”Yesus adalah Tuhan.”
Rasul Petrus berkhotbah di Bait Allah pada  hari raya Pentakosta dengan gamblang menekankan bahwa ”keselamatan tidak ada di  dalam siapa pun juga selain di dalam Dia [Yesus Kristus], sebab di bawah kolong  langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita  dapat diselamatkan” (Kis. 4:12).
Senada dengan itu, Injil Yohanes mengatakan ”Akulah [Yesus] jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang  datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6). Jadi kita melihat  posisi pluralisme agama dan pengakuan iman Kristen adalah bertentangan. 
Pertemuan inter-faith (lintas-iman) di Holland, Michigan
Hanya beberapa waktu yang  lalu untuk pertama kali saya bertemu dengan orang Indonesia di Holland,  Michigan (AS). Dalam perbincangan kami ia menceritakan tentang kelompok inter-faith  (lintas-iman) yang diikutinya; mengingatkan saya akan BKSUA (Badan Kerja Sama  antar Umat ber-Agama) di kampung saya (yang tentu saja berbeda).
Yang menarik  dari perkumpulan inter-faith ini adalah masing-masing dapat berpegang pada  agama/kepercayaannya sendiri, tetapi dengan menggaris bawahi bahwa yang satu  tidak lebih benar dari yang lain. Semua sama benarnya.
Saya bertanya-tanya,  apakah perkumpulan seperti ini, yang menurut pemandangan saya sangat baik dan  positif, bisa juga dilakukan antara pemeluk Islam yang benar-benar mengimani  agamanya dengan pemeluk Kristen yang menjunjung tinggi ajaran agamanya, demikian  juga jika ada pemeluk agama lainnya?
Dengan kata lain bahwa masing-masing  menghargai truth-claim dari tiap-tiap  pemeluk agama namun tetap rukun dan damai?
Dialog iman
Dalam sebuah mata kuliah  kontekstual teologi di Ghana, Afrika, seorang profesor teologi yang membidangi  Islamologi menceritakan tentang seorang sahabatnya, seorang Muslim. Sudah sekian  lamanya mereka bersahabat, bertukar pikiran tentang pokok-pokok agama,  kedua-duanya saling mencoba untuk membawa yang satu pada ajaran agamanya.
Namun,  pada akhirnya mereka mendapati bahwa masing-masing telah menentukan keselamatan  jiwanya dalam agama yang telah dipilihnya. Profesor ini berkata, ”Saya berharap  surga dipenuhi oleh orang-orang seperti kau.” Sahabat Muslim itu menjawab, ”Kalau memang surga itu ada, aku ingin melihat kau di sana.” 
Contoh  seperti di atas inilah yang disebut dengan dialog.
Adalah keliru memang jika  klaim kebenaran itu kita lakukan mengikuti pola lama yang secara teologis tak  dapat dipertanggung jawabkan. Tuhan Yesus tidak pernah menunjukkan sikap triumphalis (penaklukan) dalam melakukan  pelayanan-Nya.
Sharing (berbagi) iman itu harus selalu dalam kerendahan hati, sudi  mendengar orang lain, dan mengakui hal-hal yang baik yang terdapat pula di dalam  agama-agama lain. Namun pada saat yang sama pula, kita berpegang teguh pada  ajaran iman kita.
Menghargai tidak sama dengan mengkompromikan ajaran iman kita.  Dalam dialog kita memberi keluasan pada Roh Kudus untuk bekerja di dalam hati  tiap-tiap orang, bahkan di dalam hati kita sendiri.***
Revisi teknis penulisan (20 Oktober 2013).






0 komentar :
Posting Komentar