Kesaksian iman Riri Panjaitan, putri almarhum Jenderal D.I. Panjaitan. Bagaimana kisah tragis pembunuhan ayahnya menanam kebencian di dalam hatinya, serta bagaimana Allah bekerja di dalam hidupnya mendatangkan kelepasan.
Ketika itu pukul 3 pagi. Waktu terjadi pendobrakan pintu pertama kali, saya ada di dalam rumah, bersama keluarga. Saya sedang berada di dalam kamar. Dan tiba-tiba mereka meletuskan senapan dan menembak ke arah rumah kami. Selama beberapa saat peluru-peluru mereka menghujani rumah kami. Mereka masuk ke dalam rumah dan menyuruh ayah saya menemui mereka atau mereka akan meledakkan rumah kami. Saya ingat waktu itu ayah keluar dengan berpakaian militer lengkap sebagai angkatan darat.
Saya dengar ayah saya berbicara, rupanya ayah saya meminta waktu untuk berdoa. Saat itu ayah saya ditembak, diberondong dengan beberapa peluru. Lalu jenazah ayah diseret dan dilempar ke lubang yang dalamnya hampir 2 meter. Saya berlari ke depan dan saya melihat darah yang kental… Saya ingin pegang, saya ingin peluk papa saya tapi tidak ada… Sepertinya saat itu saya betul-betul mengalami kecewa, dan sungguh berat untuk seorang anak berumur 8 tahun seperti saya.
Marieke Panjaitan (Istri Mayjen Anumerta DI Panjaitan): Waktu itu Riri masih kecil sehingga dia belum mengerti arti kejadian itu. Tapi sesudah dia melihat banyak orang datang ke rumah, ada yang menangis juga, dan dia menjadi heran, apa yang sudah terjadi. Baru setelah itu dia tahu papanya sudah tidak ada lagi.
Saya merasa sangat kehilangan… Orang yang kita cintai diambil seperi itu, diseret seperti binatang, dibantai seperti binatang… Tapi saya tidak mendapat jawaban dari siapapun mengapa ini harus terjadi. Saat itu saya merasakan tidak adil, dalam hidup saya ada sesuatu yang tidak adil, dan itu yang berbekas di hati saya.
Saya bertambah besar dan peristiwa G30SPKI tahun 1965 itu semakin jauh saya tinggalkan, tapi tidak ada satu titik pun yang bisa saya lupakan. Saat-saat itu saya merasa begitu menderita, di dalam batin saya, sekalipun keadaan fisik saya baik sekali.
Marieke Panjaitan (Istri Mayjen Anumerta DI Panjaitan): Dulu dia selalu kelihatan gembira, karena setiap papanya pulang, selalu menemani anak-anak. Tapi setelah peristiwa itu dia jadi pendiam, dia merasakan pahitnya peristiwa itu. Dan sebagai orang tua saya merasakan penderitaan yang sama dengan dia.
Kalau saya melihat suatu persoalan yang tidak pada tempatnya, saya merasa seperti ada sesuatu yang tidak bisa saya tahan. Saya susah untuk bergaul dan saya susah untuk menyesuaikan diri, temperamental, sangat sulit sekali bagi saya untuk mengekspresikan apa yang saya inginkan, sulit sekali untuk saya merasa nyaman dan damai… Seperti mau berontak hanya tidak tahu mau berontak kepada siapa. Dan kalau saya ingat masa-masa itu, saya merasa ada kekejaman, ada ketidakadilan dan kekejian… saya merasa manusia itu jahat sekali ya…
Penampilan luar saya bisa menipu. Saya bisa tertawa, saya bisa hidup sehari-hari seperti anak-anak lain, gembira, tapi hati saya tidak bisa sembuh dari luka itu. Tidak ada obat yang bisa mengobati luka karena peristiwa itu terjadi dalam hidup saya.
Lalu saat saya pergi ke Eropa, saya bertemu dengan seorang teman yang bisa berbicara tentang Tuhan dengan sangat dalam. Saat itu mungkin saya sudah dijamah Tuhan tapi saya sepertinya tidak mengerti karena saya tidak mempunyai pengetahuan tentang Tuhan. Selama kurang lebih 4 tahun saya mencari, akhirnya saya bertemu dengan Tuhan secara pribadi.
Saat itu saya dalam puncak kesedihan saya dan saya menangis, saya putus asa dan ingin mati, Tuhan datang. Tiba-tiba saya lihat langit terbuka, dan terang itu masuk ke kamar. Saya takut, saya pikir saya sudah mati, karna saya minta mati maka saya mati. Saya lihat ada seseorang menghampiri saya dan Dia begitu besar, begitu terang… Dia merentangkan tanganNya dan berkata, “Riri, kau harus mengampuni, engkau harus memberikan pengampunan kepada orang-orang yang kamu benci.” Saya katakan tidak mungkin. Dia menjawab, “Ya mungkin. Karena jika engkau melepaskan pengampunan, maka Aku, Tuhan Yesus akan mengampuni engkau. Riri, apakah engkau mau mengampuni?”
Ketika Tuhan berkata seperti itu, maka seperti ada video dalam pikiran saya, peristiwa G30SPKI itu, saya melihat diri saya, saya melihat peristiwa itu terulang. Dan Tuhan bilang, “Jikalau engkau tidak mengampuni peristiwa itu, Aku tidak akan mengampuni engkau.” Lalu saya katakan,”Saya mau mengampuni, Tuhan. Saya mau mengampuni pembunuh papa…” Dan saya rasakan Tuhan bekerja di dalam kata-kata saya itu, Tuhan seperti masuk dalam batin saya yang terdalam, dan Dia cabut semua akar kebencian, kepahitan, amarah, dari dalam hati saya. Semua tercabut seperti akar wortel. Saya merasa damai masuk ke dalam hati saya dan saya merasakan… saya tidak pernah merasakan hidup seperti itu.
Saya sadar bahwa Tuhan sudah menampakkan diriNya. Dan sejak itu saya mulai hidup dengan bersukacita, tidak lagi bersedih-sedih… Dia sembuhkan saya, Dia baharui hati saya, Dia beri saya kuasa kebangkitan. Hidup saya sudah berubah, saya tahu tujuan saya, saya tahu ayah saya sudah duduk bersama Bapa di Sorga, tidak ada penyesalan, tidak ada kebencian, tidak ada akar kepahitan, tidak ada dendam, yang ada hanya damai sejahtera, ucapan syukur. Kiranya Tuhan boleh memakai saya untuk mereka yang membutuhkan kesaksian saya.
“Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” (Markus 11:25)
Sumber: www.jawaban.com via Kisah Nyata dan Kesaksian Kristen
0 komentar :
Posting Komentar