KOMPASIANA (6 Juli 2013) -- Dalam kunjungan kerjanya ke sejumlah negara Afrika, presiden Amerika Serikat, Barack Obama, turut membawa sebuah agenda yang menunjukkan ketidak-pekaannya terhadap budaya suatu masyarakat, sekaligus menunjukkan sikap arogan yang tidak patut.
Bagi yang kurang
teliti, ia bisa nampak sebagai seorang yang hendak membela martabat kaum
yang lemah, yang perlu perlindungan, dan yang terpinggirkan. Dan memang
demikian ia ingin dilihat.
Namun, jika
dipikirkan dengan kritis, ia sebenarnya sedang memaksakan sebuah
ideologi yang bertentangan dengan akar budaya dan agama Afrika, yaitu
sekularisme (hurufiahnya “paham penduniawian”).
Dengan memaksakan
sudut pandang yang dianutnya (dan sebagian masyarakat AS) kepada warga
masyarakat di negara-negara yang menyambutnya sebagai seorang tamu
kehormatan, ia telah melakukan pelecehan secara terang-terangan.
Mr. Obama dengan
wibawanya hendak menunjukkan kepada negara-negara yang menerimanya
sebagai tamu (dan tentu saja dunia) bahwa ia seorang yang peduli dengan
para pelaku dan praktek hubungan sejenis dan bahwa sikap negara-negara
Afrika terhadap pelaku dan praktek hubungan sejenis adalah salah.
Walaupun orang sering
dibingungkan antara kedua hal ini: praktek hubungan sejenis dan orang
yang memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis, namun keduanya
berlainan dan harus dibedakan.
Orang yang tidak bisa
membedakan kedua hal ini akan dengan mudah menerima doktrin agama
Presiden AS. (Disebut “agama” karena ideologi sekularisme bertujuan
menjadi dasar pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan dari sebuah
masyarakat.)
Baik masyarakat
Senegal yang mayoritas Muslim maupun Kenya yang mayoritas Kristen,
praktek hubungan sejenis adalah ilegal. (Mr. Obama tidak mengunjungi
Kenya, tetapi tanggapan mengenai aktivitasnya di Senegal, Afrika
Selatan, dan Tanzania turut datang dari negara kelahiran ayahnya ini.)
Apa artinya bahwa praktek hubungan sejenis di negara-negara ini (kecuali Afrika Selatan) adalah ilegal?
Itu berarti bahwa
hukum di kedua negara Afrika ini mengambil posisi sesuai sudut pandang
norma masyarakat yang melekat dalam tradisi kebudayaan, agama, dan
kompleksitas ilmu pengetahuannya, dan menolak praktek ini sebagai hal
yang tidak sah, yang tidak normal atau moral, dan tidak bisa
dipromosikan sebagai sesuatu hal yang baik bagi masyarakat.
Dengan demikian
negara sebagai wadah yang dibentuk oleh masyarakat untuk mengatur dan
memerintah mengambil sikap yang sama dan menjalankan peraturan yang
tidak hanya menjamin hak dan kewajiban semua anggota masyarakat, tanpa
membeda-bedakan kemanusiaannya, tapi juga menjaga kelanggengan aspirasi
budaya dan agama yang berkeadilan dan etis.
Ketika Presiden AS
mengatakan bahwa ia menghormati sudut pandang pribadi (ciri-ciri gerakan
sekularisme adalah menciptakan dikotomi antara individu dan
masyarakat), dan iman pribadi masing-masing (menciptakan dikotomi antara
agama dan non-agama/sekuler), ia sedang menggoda masyarakat untuk
berpikir bahwa sudut pandang agama dan pribadi masyarakat Afrika
tersebut tidak pantas diterapkan dalam kebijakan sebuah negara.
Baginya yang tepat
adalah pandangan pribadinya dan sebagian masyarakat AS bahwa praktek ini
harus mendapat keluasan dalam masyarakat sehingga dapat dilakukan oleh
mereka yang mau melakukannya sebebas-bebasnya, bahkan mendapat tunjangan
dari pemerintah, diajarkan di sekolah-sekolah dan dipromosikan lewat
kegiatan-kegiatan seperti pawai homoseks di New York atau San Francisco.
Gagal mengikuti resepnya ini, mengikuti logika kata-katanya, berarti sebuah pemerintahan melakukan diskriminasi.
Kata “diskriminasi”
telah menjadi senjata ampuh terhadap mereka yang gagal memahami
kompleksitas masalah ini, dan juga tampak menjadikan Mr. Obama sebagai
seorang pembela hak asasi manusia (HAM).
Namun jika dilihat
keadaan di negerinya sendiri, mereka yang menolak mengafirmasi gaya
hidup homoseksual harus mengalami diskriminasi oleh karena peraturan
yang dibuat dari sudut pandang yang tidak mengakomodasi HAM untuk
kebebasan beragama.
Inilah kebohongan
dalam agenda presiden Obama, bahwa dalam berbicara tentang melawan
diskriminasi, sekularisme yang hendak dipaksakannya jelas-jelas
melakukan diskriminasi. Mereka yang tidak mau menerima praktek yang
ditolak agama dan budaya dunia pada umumnya ini akan mengalami
diskriminasi.
Jadi nampaklah di
depan mata kita dua sistem yang berbeda: Yang satu berdasarkan pemahaman
manusia akan kodrat dan agama, yang lain menolak dan menempatkan
kebebasan manusia di atas segala-galanya.
Yang pertama akan mengiring pada keteraturan dan kebebasan yang sebenarnya, sedang yang lain akan menuntun pada kekacauan (chaos) dan perhambaan.
Mr. Obama harus lebih
berani mengakui agenda sekularismenya. Paling tidak jujurlah bahwa
pencitraannya sebagai pembela HAM hanyalah topeng belaka.
Kalau tidak ia hanya
menambah bukti bahwa sekularisme adalah agenda yang tidak jujur. Melihat
contoh di AS, pelajaran agama tidak diperkenankan diajarkan di sekolah
negara. Itu karena dikatakan sekolah negara adalah tempat
non-agama/sekuler; harus bebas dari pelajaran agama. Berdoa pun
dilarang.
Namun di
sekolah-sekolah ini para pelajar dicecok dengan materialis Darwinisme
yang berpangkal pada ajaran anti-theis (anti-agama) bahkan dalam
perkembangannya sekarang praktek hubungan sejenis diajarkan sedini TK
(taman kanak-kanak).
Jadi jelaslah, agenda
Mr. Obama bukan untuk membela kaum yang lemah, bukan pula sekedar untuk
membantu masyarakat Afrika yang terus menderita akibat efek jangka
panjang kolonialisme. Ia menawarkan sekularisme, dan para pemimpin
Afrika yang pintar telah dengan terang-terangan mengungkapkannya: Kami
menghargai bantuan Anda, tapi [kami] takut akan Allah.
0 komentar :
Posting Komentar