MP -- Masyarakat
internasional sedang merasa prihatin. Berikut sorotan MP seputar situasi di Suriah, Mesir, Sub-Sahara Afrika, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Indonesia.
Suriah
Krisis berkepanjangan di Suriah telah
memakan korban lebih dari
100.000 orang (6000
adalah anak-anak), dan masih tak nampak ujung penyelesaiannya.
Dimulai dari sebuah demonstrasi
menuntut perbaikan, aspirasi rakyat untuk hidup yang lebih baik
berubah menjadi kematian dan tragedi yang menelan korban jiwa,
materi, dan masa depan Suriah.
Sementara Rusia menyalurkan senjata
atas klaim “perjanjian
legal dengan pemerintah yang legal,” beberapa negara Barat
dengan terang-terangan mendukung
pemberontak, atau yang disebut “oposisi.”
Kardinal
John O. Onaiyekan dari Nigeria dengan prihatin berkata, “Ini
dunia gila.”
Suriah
dijadikan lapangan sepak bola politik global. Di kota dan di desa,
perempuan dan laki-laki, anak-anak dan dewasa, komunitas Muslim dan (terutama) komunitas
Kristen, menjadi rumput-rumput malang yang terinjak-injak; yang
hancur dan mati.
Tapi
memang, sekalipun banyak pemain asing yang datang, para pemain
utamanya adalah warga Suriah sendiri. Mereka yang berkomitmen untuk
menjaga tanah airnya dalam wadah militer dan mereka yang ingin
membangun Suriah (namun tidak setuju dengan kepemimpinan presiden Bashar
al-Assad). Itu sebabnya konflik ini dinamakan “perang sipil”
(perang antara mereka sendiri).
Mesir
Kegilaan
juga telah muncul di Mesir.
Setelah
demonstrasi yang mengiring mundurnya Hosni Mubarak, rakyat Mesir seperti
melihat fajar baru di alam demokrasi. Terpilih secara konstitusional
Muhammad Mursi sebagai presiden.
Presiden terpilih Mesir, Muhammad Morsi. Dikudeta. |
Namun
didukung oleh Muslim
Brotherhood membuatnya
kurang populer (di dunia Barat), dan nampaknya juga melakukan langkah-langkah yang kurang populer. Ia dianggap sebagai seorang “Islamis,” dan itu
sepertinya dianggap tidak baik.
Sebelum
militer Mesir melakukan coup d'etat
(kudeta) terhadap pemimpinnya (apakah ini tidak gila?), berbagai
media, terutama yang berkiblat ke Barat, telah memperguncingkan Mesir
di antaranya dari 'sudut' masyarakat Kristen Koptik, seakan-akan
Muslim dan Kristen sama sekali tidak bisa akur di awal sebuah "revolusi."
Yang
paling menyedihkan di sini adalah kegagalan militer untuk menjaga
konstitusi dan keamanan masyarakat Mesir, sekalipun dalam pidatonya
Jendral Sisi mengatakan bahwa apa yang dilakukan militer adalah
membawa aspirasi rakyat.
Apakah Jendral
Sisi bingung membedakan aspirasi dan fungsi? Hal ini mengundang
resiko kritik pelajar kritis ketika sejarah diajarkan di
sekolah-sekolah nanti, sekalipun pemuka al-Azar dan Gereja Kristen Koptik berdiri mendukung.
Sekjen
PBB, Ban Ki-moon adalah orang yang kritis, karena itu ia prihatin.
“Rakyat
Mesir telah menyuarakan rasa frustrasi yang dalam serta keprihatinan
yang sah lewat aksi protes mereka. Namun pada saat yang sama,
intervensi militer dalam urusan kenegaraan adalah sebuah
keprihatinan,” ungkap
Eduardo del Buey, juru bicara PBB.
Sejauh
ini yang perlu ditangisi adalah sekitar
91 perempuan yang dilaporkan mengalami pelecehan seksual sampai
pemerkosaan (mengingatkan Tragedi Mei 1998) di Tahrir
Square. Belum dihitung jumlah
korban tewas yang akan menambah jumlah 846 yang meninggal pada "revolusi" yang pertama.
"Revolusi" yang berikut-berikutnya mungkin masih akan datang jika kebijakan
Mesir (dan Suriah, Libia, dst.) masih belum sepenuhnya
memperhitungkan (atau mengakomodasi) kepentingan luar.
Tapi
bagaimana pun, berbicara tentang Mesir, ini adalah kisah rakyat
Mesir, dan biar mereka yang menilai kisah mereka sendiri. Termasuk
tentang bagaimana militernya menahan para jurnalis dan menutup
kantor berita seperti Al Jazeerah di tengah-tengah sebuah pergolakan.
Sub-Sahara
Skip
Libia, kita ke Afrika. Presiden Amerika Serikat membuat kejutan di
tengah-tengah kunjungannya di benua yang mempunyai ikatan emosional
dengan seorang Barack Obama. Ayah kandungnya berkewarga-negaraan
Kenya.
Seperti
biasa AS menunjukkan niatnya untuk membantu negara-negara Afrika yang
masih berkembang setelah sejarah kolonialisme. Namun, kali ini sang
presiden membawa juga agenda yang sementara menjadi polemik dan
perpecahan di negaranya.
Di
Senegal yang mayoritas memeluk agama Islam Mr. Obama menyudutkan Presiden Senegal, Macky Sall, dengan mengemukakan agenda homoseksualnya di depan sebuah konferensi pers. Presiden Sall
menjawab bahwa masyarakatnya “toleran,” dan meminjam istilah
non-akademik di Barat, “tidak homofobik.” “Kami
memiliki tradisi yang berbeda,” ungkapnya.
Tanggapan datang dari Kenya, yang sekalipun punya sejarah dekat dengan sang presiden, lagi tak masuk dalam daftar kunjungannya. Menanggapi agenda Mr. Obama, Wakil Presiden Kenya, William Ruto, di sebuah ibadah Minggu di antaranya menyebut “Kenya
adalah negara merdeka dan takut akan Tuhan.”(Lihat video di sini.)
Uni Eropa
Sementara
itu, hubungan AS dengan negara-negara Eropa akhir-akhir ini agak
merenggang. Ini juga merupakan bagian dari kegilaan yang sedang
terjadi, bahwa pemerintah AS
(dicurigai) memata-matai negara-negara Eropa (entah negara-negara lain juga), termasuk warganya. Kasus ini telah membuat Prof. Mark LeVine menilai bahwa demokrasi di AS telah dikhianati dan bertanya jika demokrasi ini akan bisa bertahan.
Banyak
orang yang telah mendengar nama Edward
Snowden. Ia dapat dikatakan adalah salah satu orang yang paling
berani di dunia, jika ia betul-betul sadar dengan apa yang
dilakukannya.
Snowden
adalah seorang kontraktor IT yang sempat bekerja untuk badan keamanan
dan intelejen AS. Prihatin dengan tingkat 'pengawasan' pemerintah terhadap rakyatnya dan negara-negara lain ia memutuskan
untuk membuka rahasia pengawasan itu.
Untuk
keberanian itu, ia sekarang menjadi buruan negara “super-power.”
Negara yang akan menerimanya sebagai seorang pelarian harus
dinobatkan sebagai negara yang menghargai hak asasi manusia. (Mungkin Ekuador.)
Indonesia
Bagaimana
dengan Indonesia...?
Maksudnya,
menyangkut perkembangan terbaru menjelang Pemilu 2014, serta keamanan
dan ketentraman hidup di negara ini.
Isu-isu
sensitif terus didengung-dengungkan saat ini. Orang tak perlu
bertanya, karena sudah biasa mendengar. Masalah agama, suku, BBM,
dsb. Kita perlu menyikapi secara kritis isu-isu seperti ini, jangan
sampai masyarakat ditunggangi untuk diadu domba satu dengan yang
lain. Korban yang paling menderita selalu adalah anak-anak.
Adalah
lumrah jika sama seperti Kardinal Onaiyekan kita semua berharap
supaya apa yang terjadi di Suriah (dan negara-negara lainnya),
terhindar dari tanah air Indonesia. Ini bukan supaya kita menghindar dari bersikap kritis, namun justru dengan bersikap kritis, membela kepentingan rakyat, menjaga keamanan
dan memajukan kehidupan bermasyarakat.
Dan marilah jangan pernah kita lupa bahwa meski pun beda agama maupun suku, di
Negara Kepulauan ini kita semua bersaudara.***
0 komentar :
Posting Komentar