(Ilustrasi: politico.com) |
Seorang hakim di Hawaii, AS, memutuskan
bahwa Phyllis Young melanggar hukum karena menolak menyewakan kamar
di rumahnya yang ia usahakan sebagai tempat penginapan kepada dua
orang wanita yang mengaku sebagai pasangan sejenis (LSN,
4/16/13).
Mrs. Young, pemilik Aloha Bed and
Breakfast, diajukan ke pengadilan karena menolak menyewakan kamar
kepada Ms. Cervelli dan Ms. Bufford pada tahun 2007 lalu, yang setelah ditanyakan oleh Mrs.
Young, menerangkan bahwa mereka merupakan pasangan sejenis.
Dari keyakinan imannya yang menolak
hubungan sejenis, Mrs. Young merasa tidak nyaman menyewakan kamar
kepada pasangan ini.
Ia pun diputus hakim melanggar hukum
akomodasi publik Hawaii, yang mengatakan bahwa usaha yang menyediakan
penginapan untuk publik tidak boleh melakukan diskriminasi atas dasar
ras, jenis kelamin, agama, preferensi seksual, atau identitas gender.
Nampak bahwa iman Mrs. Young 'tidak
populer', karena iman itu ternyata di depan hukum (sekarang) 'mendiskriminasi'.
Tapi Mrs. Young tidak sendiri.
Seorang pemilik penginapan lainnya, Jim
O'Reilly, membayar denda uang USD 30.000 (kurang lebih 27 juta
rupiah) karena menolak menyewakan penginapan mereka untuk dipakai
sebagai ruang resepsi sebuah “pernikahan” sejenis.
“Keyakinan iman kami masih sama, tapi
kami memiliki hidup yang harus dijalani, keluarga untuk dikasihi,
bisnis yang perlu ditumbuhkan, dan komunitas untuk dilayani,” keluh
O'Reilly, “Bisnis kecil seperti kami tidak bisa menyaingi
sumberdaya tak terbatas yang dimiliki oleh pemerintah dan ACLU”
Tapi orang seperti Mrs. Young dan Jim
O'Reilly tak harus merasa sendiri. Baru-baru ini pengadilan
New Mexico menetapkan Elaine dan Jonathan Huguenin untuk membayar
denda USD 6.600 (sekitar enam juta rupiah) karena menolak menyediakan
jasa fotografer sebuah “pernikahan” sesama jenis.
Dua orang perangkai bunga, Barronelle
Stutzman dan Kimberly
Evans, termasuk seorang pengusaha roti, Victoria
Childress, juga sedang menghadapi kasus yang sama. Mereka ini
perlu berbesar hati karena dapat disejajarkan dengan 25.000
notaris di negara bagian Maine, AS, yang akan menghadapi tuntutan
yang sama atas dasar “pelanggaran hak asasi manusia” jika
menolak untuk tunduk.
Namun pertanyaan bagi kita adalah
apakah ini adalah masalah “diskriminasi” atau “legitimasi.”
Dan kalau kita memahami maknanya, maka iman bukan mendiskriminasi,
tetapi menolak melegitimasi apa yang bertentangan dengan iman.
Penegak dan produk hukum ternyata tidak
lepas dari masalah iman. Kalau begitu, apakah kita siap
membayar harga? [MP]
0 komentar :
Posting Komentar