Bunda Teresa (foto: goodreads.com) |
Berbagai media saat ini terus-menerus
membangun imej perempuan yang semakin diseksualisasi. Berbagai cara
diterapkan, lewat gambar, film, tulisan, dsb. Iklan-iklan yang
bermunculan menunjukkan kaitannya dengan ekonomi (kapital). Tak hanya
perawatan kulit, rambut, dan perhiasan yang digarap, fashion juga.
Perempuan dijadikan sasaran pasar dengan mengeksploitasi apa yang
menjadi keinginan setiap perempuan: tampil menarik. Dan peran dari
media-media lepas ini adalah meyakinkan perempuan bahwa jikalau
mereka tampil 'sensual' maka mereka terlihat menarik.
Hal
ini telah menimbulkan keprihatinan. Apa sebab? Susan
Fiske, Eugene
Higgins Professor of Psychology dari
Princeton University, dalam pertemuan tahunan American
Association for the Advancement of Science,
mengungkapkan keyakinannya atas penelitian yang menunjukkan bahwa
beberapa orang tidak melihat
para wanita yang diseksualisasi sebagai "manusia." (Lihat
di sini)
Sejalan dengan itu, berbagai reaksi
dari perempuan yang kritis pun bermunculan. Dari kalangan Kristen,
Rebeka Fry
mengungkapkan bahwa seiring dengan tren fashion yang berkembang
menjadi lebih dan lebih sensual, sangat mudah bagi seorang perempuan
Kristen untuk menganggap satu-satunya pilihan berpakaian 'indah'
adalah yang sesuai dengan konstruksi budaya seperti di atas. (Lihat di sini)
Lepas dari pandangan pribadi mengenai
hal ini, tradisi kekristenan mengajarkan supaya perempuan (dengan
implikasi laki-laki juga) bersikap bijaksana dalam berpakaian:
menghiasi diri dengan sederhana, kepatutan, dan kebersahajaan (bnd. 1
Timotius 2:9). Hal ini tentu saja tak usah ditafsirkan secara
ekstrim. Fry menunjukkan bahwa Alkitab memberikan
beberapa contoh perempuan yang mengenakan pakaian bagus dan
perhiasan. Perempuan dengan karakter mulia dalam Amsal 31 menghiasi
dirinya dengan pakaian warna-warni dan berkualitas tinggi (ayat 22).
Tulisan Fry di blog Redefining Femininity ini dapat dipahami bahwa perempuan memiliki kecantikan
dan keindahan yang tak harus memenuhi pre-kondisi yang diciptakan
oleh media (yang dikontrol oleh laki-laki tertentu?), atau siapapun.
Melainkan dengan hak penuh menentukan bentuk ekspresi keanggunannya
sendiri yang mencerminkan karakter, intelektual, dan integritas
seorang perempuan, yang sama seperti laki-laki, diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah.
Kita telah melihat bagaimana kualitas
ilahi dalam diri perempuan dinodai dan/atau disalahgunakan. Dalam satu
kasus, ketika perempuan diperlakukan ditindas
dan ditolak dari hak-haknya sebagai
perempuan maupun sebagai manusia, perempuan bangkit dan menunjukkan
bahwa ketidak-adilan itu harus diakhiri dan pelanggarnya harus
dihukum.
Ambil
contoh kejadian di Manipur, India, di tengah-tengah pergumulan kaum
Dalit.*
Pada
tanggal 10 Juli 2005, Thangjam
Manorama (32) ditemukan
tak bernyawa.
Para
saksi mata mengatakan bahwa Manorama dijemput di rumahnya oleh
tentara paramiliter Assam Rifles atas tuduhan terlibat dengan para
pemberontak separatis. Beberapa jam kemudian, tubuh kakunya ditemukan
empat kilometer dari rumahnya di ibukota negara bagian Imphal, dengan
sejumlah luka tembakan, di samping tanda-tanda penyiksaan. Beberapa
kelompok perempuan menyerukan 48 jam mogok masal sehari setelah
penemuan tubuh Manorama.
Sekurangnya
40 perempuan dengan telanjang melakukan protes di kantor pusat Assam
Rifles di Imphal, sambil membawa poster: “Tentara India perkosa
kami” dan “Tentara India ambil tubuh kami.”
Pihak
berwenang menerapkan jam malam untuk mencegah munculnya lebih banyak
protes. Tapi ratusan perempuan menantang jam malam itu. Mereka turun
ke jalan, sehingga membuat para polisi dengan menggunakan kekerasan
memblok para protestan. Namun demikian, para protestan juga membakar
sejumlah gedung pemerintah.
“Kami
ingin menghukum para tentara yang terlibat dalam pembunuhan brutal
terhadap Manorama dan kami menuntut supaya para tentara yang bersalah
diserahkan pada kami,” ungkap Memchaoubi
Devi, presiden sebuah
kelompok hak asasi perempuan di Manipur. Ia menambahkan, “Adalah
lebih baik melakukan protes dengan telanjang daripada membiarkan para
tentara membunuh dan memperkosa wanita kami.”
Aksi
pengrusakan fasilitas dan pengeksposan tubuh perempuan ini menunjukkan bahwa
tingkat pelanggaran itu sangat berat dan tidak dapat ditolerir.
“Protes
ini tidak akan surut sampai para tentara yang bersalah dihukum.
Bahkan orang yang terlibat dalam militansi sekalipun harus dibawa ke
pengadilan, tidak hanya dibunuh atau diperkosa,” tegas Leirik
Devi, pemimpin kelompok
perempuan berpengaruh lainnya. Ia bersumpah, “Kami siap untuk
menumpahkan darah, kami tidak bisa membiarkan para tentara melakukan
hal biadab terhadap kesopanan anak-anak perempuan kami. Protes ini
akan meningkat.” Menanggapi tekanan yang semakin kuat, Assam
Riffles menghentikan sejumlah tentara dari tugas dan sebuah
pengadilan di perintahkan untuk menyelidiki kasus ini.
Perempuan,
yang jauh sebelumnya telah menjadi simbol pemberi kehidupan,
merupakan kelompok yang paling mengerti kesulitan kaum perempuan dan
anak-anak, dan telah menunjukkan perannya sebagai pembela kehidupan.
(Contoh
di Asia dan Afrika di mana perempuan dan anak menjadi sangat rentan
terhadap berbagai eksploitasi dan ketidak-adilan karena kemiskinan
dapat dilihat di sini
dan di sini.)
Mengawali
suatu perenungan lebih jauh, saya menawarkan bahwa dalam konteks
seperti inilah refleksi akan keanggunan perempuan yang berpusat pada
Kristus itu dilakukan. Sebuah perenungan yang telah digumuli oleh
Dietrich
Bonhoeffer
mengenai kehendak Allah, yaitu kita harus terus mencarinya dalam
situasi dan kondisi di mana kita menemukan diri kita terpanggil untuk
menjawab, tak hanya sebagai perempuan, namun juga laki-laki, Kristen.***
*Kutipan
cerita ini diambil dari artikel I. John Mohan Razu, “Deciphering
the Subaltern Terrain: Exploring Alternative Sources for an
Emancipatory Mission,” CTC Bulletin
Vol., XXVI, No. 1 (June 2010): 100-101.
0 komentar :
Posting Komentar