Hubungannya dengan “subliminal”
Bagi yang belum terbiasa dengan istilah “subliminal,” perbincangan tentang Indomilk bisa membantu.
Hal ini karena istilah “subliminal” sangat dekat dengan periklanan.
Arti istilah ini, seperti dijelaskan di situs Subliminal Definition, adalah “mengirim
pesan atau informasi melalui gelombang suara (pendengaran) atau gambar
(penglihatan) di bawah tingkatan yang bisa terdeteksi manusia, dan
langsung masuk ke pikiran bawah sadar.”
Di situ dijelaskan
bahwa “pesan yang dikirim dengan metode subliminal tidak akan dipahami
oleh pikiran sadar kita, dan apapun bentuk yang diterima pikiran bawah
sadar kita, akan diterima sebagai kenyataan.
“Pikiran bawah sadar kemudian akan membuat alasan untuk pikiran sadar kita, dan membuat pikiran logis untuk mengikutinya.
“Penelitian menunjukkan bahwa ketika suatu muatan menerapkan gambar subliminal, otak akan merekam gambar itu di luar kesadaran.
“Dengan menerima pesan subliminal yang sama secara konsisten ke alam bawah sadar, maka sebuah kebiasaan baru dapat terciptakan.”
Dikatakan juga bahwa teknik subliminal sebelumnya telah diterapkan di Amerika Serikat (AS).
Insiden yang paling
terkenal adalah iklan Coca-cola yang ditampilkan 1/2000 detik ketika
orang menonton film. Hal ini meningkatkan pembelian minuman ini dan
pop-corn secara luar biasa.
Karena beberapa
insiden yang terjadi maka di AS metode ini dilarang dalam periklanan,
dengan alasan kemampuan yang dimilikinya untuk mempengaruhi pikiran
manusia.
Indonesia dan Indomilk
Saat ini masyarakat
Indonesia kembali diramaikan dengan pemberitaan tentang kemasan Indomilk
yang dianggap membawa pesan tersembunyi. Kemasan tentu mempunyai daya
iklan juga.
Laporan situs Liputan 6 (30/4/13)
menyinggung gambar kemasan Indomilk yang menampilkan dua pria dewasa
yang mengapit seorang anak laki-laki sehingga dianggap mengirim pesan
tentang pasangan sesama jenis.
Apakah berbagai reaksi terhadap kemasan ini adalah sudah berlebihan?
Di tengah upaya
terang-terangan negara-negara seperti AS dan Inggris untuk
menyebar-luaskan praktek hubungan sejenis (lepas dari penolakan dari
masyarakatnya sendiri) membuat penilaian itu menjadi wajar-wajar saja.
Kewaspadaan membutuhkan kekritisan.
Lagi pula upaya
‘pencitraan’ lewat gambar oleh Indomilk ini tidak bisa dikategorikan
sebagai sebuah “ketidak-pekaan budaya” dari pihak pemasaran Indomilk, seperti yang diusulkan oleh ahli Silih Agung Wasesa.
Karena kalau demikian
adanya, tahun 2011 yang lalu, yaitu ketika muncul komplain terhadap
gambar di kemasan susu ini, pihak Indomilk telah mengganti penggambaran
yang mempunyai dampak psikologi itu, terutama tentu saja terhadap
anak-anak.
“Kejahatan Korporasi”
Farid Muadz, aktivis
pembela perempuan dan anak korban kekerasan, terang-terangan menyebut
bahwa korbannya bukan hanya anak-anak, tetapi juga orangtua, karena
“informasi berupa gambar itu berisi pesan berbahaya bagi masa depan
anak-anaknya,” demikian tulisnya di Kompasiana.
Bagi Muadz, tindakan
Indomilk ini merupakan “kejahatan korporasi” karena “mengelabui
konsumennya agar mengkonsumsi barang yang diproduksinya dengan
menyelipkan informasi dan promosi yang menyesatkan dan menyimpang dari
norma-norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya.”
Atau juga dapat dikategorikan sebagai “social crime” (kejahatan sosial), jika saja dapat dibuktikan unsur kesengajaannya.
Jika ada unsur pre-meditasi (perencanaan) maka Indomilk, dan secara umum PT. INDOLAKTO telah menetapkan tonggak dimulainya peran korporasi dalam mendistorsi masyarakat Indonesia.
Konsumen yang
terkelabui akan membeli produk yang dengan sendirinya menunjang proyek
‘kepedulian’ sosial yang ditopang oleh perusahaan.
Ibaratnya seperti Coca-cola yang merupakan salah satu sponsor New York City Pride Parade (pawai pelaku dan pendukung hubungan sesama jenis), bersama Kraft yang bahkan membuat jenis Oreo berwarna-warni.
Mengalirnya dukungan
keuangan dari perusahaan-perusahaan besar seperti ini memungkinkan
berbagai kampanye, baik terselubung maupun terang-terangan, di seluruh
belahan dunia, atas nama membela “hak-hak pelaku hubungan sesama jenis”
– dan itu termasuk
mencitrakan para penentangnya sebagai orang-orang yang ‘homofobik’ atau
tidak punya belas kasih. Tapi belas kasih memang perlu disertai
kekritisan.
Di beberapa negara
sekarang ini “hak-hak pelaku hubungan sesama jenis” itu telah diletakkan
di atas hak-hak anak untuk memiliki kasih sayang seorang ayah dan
seorang ibu, hak untuk mengekspresikan pendapat berdasarkan keyakinan
agama yang dianut, dan hak untuk melestarikan nilai-nilai sosial-budaya
sebuah masyarakat.
Keluhan Farid Muadz
Masyarakat sekuler
Barat saat ini cenderung telah meninggalkan norma-norma kemasyarakatan
tradisional yang tercermin lewat pemujaan sikap individualistik,
perilaku seks lebas (lepas bebas), pembunuhan bayi, serta sistem
kapitalismenya, menganggap bahwa sistem masyarakat lainnya adalah
‘primitif’, perlu ‘pencerahan’.
Dan karena itu lewat
kekuatan ekonomi, diplomasi, termasuk intimidasi, maka seluruh dunia
dapat menerima apa saja yang mereka inginkan, lepas dari berbagai
konsekuensinya terhadap masyarakat itu sendiri.
Itulah sebabnya
pertanyaan “Apa betul ada pesan tersembunyi di balik gambar kemasan
Indomilk?” perlu disikapi bersama sebagai satu kesatuan masyarakat yang
berpikir kritis.
Karena, kalau
tingkahlaku Indomilk tak bisa diganggu-gugat, bisa jadi ini tinggal
merupakan indikasi bahwa Indonesia telah terjual (entah kepada siapa).
Masih di 2011 yang
lalu Muadz mengeluh, “Sampai saat ini Indomilk belum bergeming,
disamping komponen masyarakat yang lain yang seakan tak peduli dengan
informasi produk susu yang menyesatkan ini.”
Ini memang sudah tahun 2013.
0 komentar :
Posting Komentar