Navanethem "Navi" Pillay (foto: bikyamasr.com) |
INDONESIA, Jakarta (13 November 2012).
Komisioner
Tinggi HAM PBB Navi Pillay memiliki keprihatinan yang patut dipuji
atas keadaan di Indonesia, terlebih khusus mengenai kebebasan
beragama.
Menurut laporan
KBR68H
ia meminta pemerintah Indonesia untuk merombak peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan sikap intoleran terhadap keberagaman agama dan
keyakinan.
Perempuan cendekiawan asal Afrika Selatan ini mengatakan bahwa peraturan tersebut diantaranya, UU tentang penistaan
Agama, Keputusan Menteri mengenai pembangunan rumah ibadah dan
kerukunan umat beragama serta Keputusan Bersama Menteri mengenai
Ahmaddiyah. Berbagai aturan itu harus dicabut karena memicu tindak
kekerasan terhadap pemeluk agama dan keyakinan minoritas. Aturan juga
memicu kebencian antar pemeluk agama.
“Saya
merekomendasikan Indonesia untuk melakukan amandemen atau pencabutan
Undang-Undang Penistaan Agama tahun 1965, Keputusan Menteri tahun
1969 dan 2006 mengenai pembangunan rumah ibadah dan kerukunan
beragama, dan Keputusan Bersama Menteri tahun 2008 mengenai
Ahmaddiyah," ujarnya seperti dikutip KBR68H.
Di satu sisi,
Navi Pillay benar dalam menilai bahwa berbagai aturan ini telah
dijadikan alasan untuk melakukan tindakan di luar hukum, terutama
oleh pemeluk agama satu terhadap pemeluk agama lain di Indonesia,
dalam hal ini yang paling menyolok adalah UU Penistaan Agama.
Hal ini
juga pertama-tama dimungkinkan oleh ketidak-tegasan Pemerintah
Indonesia untuk menjamin kebebasan beragama sesuai yang diatur oleh
UUD 45. Peraturan menteri tentang pembangunan rumah ibadah juga telah terbukti
menimbulkan masalah dan perlu dikaji kembali, sementara pelarangan
terhadap pemeluk Ahmaddiyah sudah seyogyanya dicabut.
Akan tetapi, poin untuk
mencabut UU Penistaan Agama belum tentu merupakan solusi terbaik bagi
Indonesia. Memang benar ada penyalah-gunaan, namun jika
penyalah-gunaan yang menjadi masalah, maka hukum yang jika digunakan
secara benar dapat membantu langgengnya perdamaian antar umat
beragama tidak boleh diganggu-gugat. Di sini pandangannya tampak
kurang komprehensif.
Di puncak protes
umat Muslim di seluruh dunia terhadap film keji “The Innocence of
Muslims,” Indonesia muncul sebagai pelopor untuk mendorong
kebebasan berekspresi ke arah yang bermartabat, yaitu dengan menghormati para pemeluk agama. Upaya ini sendiri
menjadi cermin bagi Indonesia yang masih harus berusaha lebih keras
supaya hak warga negara untuk menunaikan hak dan kewajiban agamanya
dilindungi.
Namun, wanita non-Kaukasian pertama di Pengadilan Tinggi Afsel ini bukan seorang yang mengabaikan masalah 'kebebasan
berekspresi' yang sering disalah-gunakan ini.
Oktober lalu ia
mengungkapkan, "Saya
secara terbuka telah menyatakan penyesalan saya dan mengutuk
fanatisme dan berbagai kebencian yang diarahkan terhadap agama, dan
juga secara konsisten telah mendesak para pemimpin agama dan politik
untuk mengutuk kekerasan, termasuk korban jiwa yang telah terjadi
sebagai reaksi terhadap insiden-insiden seperti itu di
berbagai belahan dunia." (UPI.com)
Dari Inggris, Gerald
Warner,
seorang jurnalis Katolik,
mengungkapkan, “Sekarang ini hanya manifestasi kebencian terhadap
hal-hal menyangkut Kristus (Christophobia) yang ditolerir – bahkan
didorong – di Inggris dan di [dunia] Barat.” (MP)
Menurut KBR68H,
pada hasil sidang Universal Periodic Review (UPR) HAM PBB beberapa
waktu lalu, PBB memberikan 180 rekomendasi kepada pemerintah
Indonesia untuk memperbaiki kinerja HAM. Namun pemerintah hanya
mengabulkan 150 rekomendasi. 30 rekomendasi lain ditolak. Diantaranya
adalah pencabutan atau revisi UU tentang penistaan agama.
Mungkin adalah satu-satunya yang baik dari penolakan itu. (MP)
0 komentar :
Posting Komentar