Memey, korban trafficking, menceritakan kisahnya di forum PBB, di Wina, Austria (17/10/2012). (foto: Tempo.co) |
INDONESIA, Jakarta (Lawan trafficking!, 20 Oktober 2012).
Kutipan dari laporan berseri di TEMPO.co. (klik sub-judul untuk melihat laporan selengkapnya di sumber berita).
Di forum PBB
Di hadapan para delegasi internasional, Memey (nama samaran) menyampaikan sepenggal kisah hidupnya. Keberangkatannya untuk bekerja di negeri seberang karena didorong kebutuhan ekonomi. "Saya berasal dari keluarga yang tidak mampu," kata anak ketiga dari enam bersaudara ini.
Perempuan 28 tahun itu juga mengungkapkan betapa pedihnya menjadi korban trafficking. "Tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa," kata perempuang asal Temanggung ini. "Bayangkan saya adalah anak, saudara, atau diri Anda sendiri," ujar Memey.
Awalnya ditipu menjadi pembantu RT di Singapura
Dari perkenalannya dengan seorang pedagang ikan asin di Pasar Secang, Magelang, Memey tergiur ajakan bekerja di luar negeri. Melalui seorang penyalur tenaga kerja, pada 2001, Memey berhasil berangkat ke Singapura ketika masih berusia 17 tahun.
Sebelum ke Singapura, Memey sempat menghuni tempat penampungan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, selama satu bulan. "Paspor dan segala keperluan diurus agen di sana," kata Memey.
Di negeri Singa itu, Memey bekerja selama 1,5 tahun. Ia sempat tiga kali berganti majikan. Tapi, ironisnya, Memey tak pernah mengantongi hasil kerjanya. "Saya tidak terima bulanan," ujarnya. "Saya juga tidak tahu apakah majikan bayar langsung ke agen."
Tak kuat dengan kondisi itu, Memey akhirnya memutuskan pulang. "Ketika pulang, saya cuma dikasih Rp 500 ribu dari agensi," ujar Memey.
Sekembalinya Memey menikah dan dikaruniai seorang putera.
Menjadi korban dalam kejahatan perdagangan manusia
Berkeluarga tak membuat kondisi ekonomi Memey membaik. Bahkan cekcok dengan suaminya mendorong Memey kembali berangkat sebagai tenaga kerja informal ke luar negeri.
Pada Maret 2006, Memey berangkat ke Malaysia. Kali ini ia dijanjikan akan dipekerjakan sebagai penjaga toko atau pelayan restoran. "Yang membuat saya tergiur adalah karena tidak harus tinggal di penampungan," kata perempuan kelahiran Temanggung, 17 Juli 1984, itu.
Tawaran bekerja ke Malaysia didapat Memey dari kenalannya, Suyatmi, yang dikenal sebagai calo di salah satu Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). "Kali ini saya berangkat sebagai perorangan, tidak melalui agen," ujarnya.
Dari Suyatmi, Memey diserahkan kepada seorang perempuan yang bernama Sri dari Magelang. Diberangkatkan menuju Entikong, Kalimantan Barat, dengan menggunakan kapal laut melalui Semarang. "Saya berangkat bertiga, bersama Yayuk dan Ngaliah," ujar Memey.
Di Entikong, seorang pria menjemput dan mengurus segala keperluan mereka, termasuk paspor. "Saya tidak keluar uang, hanya bermodal KTP (kartu tanda penduduk)," kata Memey. Ketiga perempuan belia itu sempat menginap di sebuah rumah penampungan di Entikong selama empat hari.
Setelah mereka dibawa ke perbatasan dan diserahterimakan kepada empat pria tegap yang diketahui sebagai warga Malaysia. "Mereka seperti bodyguard. Kami dibawa ke Kuching, Malaysia," kata Memey.
Kutipan dari laporan berseri di TEMPO.co. (klik sub-judul untuk melihat laporan selengkapnya di sumber berita).
Di forum PBB
Di hadapan para delegasi internasional, Memey (nama samaran) menyampaikan sepenggal kisah hidupnya. Keberangkatannya untuk bekerja di negeri seberang karena didorong kebutuhan ekonomi. "Saya berasal dari keluarga yang tidak mampu," kata anak ketiga dari enam bersaudara ini.
Perempuan 28 tahun itu juga mengungkapkan betapa pedihnya menjadi korban trafficking. "Tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa," kata perempuang asal Temanggung ini. "Bayangkan saya adalah anak, saudara, atau diri Anda sendiri," ujar Memey.
Awalnya ditipu menjadi pembantu RT di Singapura
Dari perkenalannya dengan seorang pedagang ikan asin di Pasar Secang, Magelang, Memey tergiur ajakan bekerja di luar negeri. Melalui seorang penyalur tenaga kerja, pada 2001, Memey berhasil berangkat ke Singapura ketika masih berusia 17 tahun.
Sebelum ke Singapura, Memey sempat menghuni tempat penampungan di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, selama satu bulan. "Paspor dan segala keperluan diurus agen di sana," kata Memey.
Di negeri Singa itu, Memey bekerja selama 1,5 tahun. Ia sempat tiga kali berganti majikan. Tapi, ironisnya, Memey tak pernah mengantongi hasil kerjanya. "Saya tidak terima bulanan," ujarnya. "Saya juga tidak tahu apakah majikan bayar langsung ke agen."
Tak kuat dengan kondisi itu, Memey akhirnya memutuskan pulang. "Ketika pulang, saya cuma dikasih Rp 500 ribu dari agensi," ujar Memey.
Sekembalinya Memey menikah dan dikaruniai seorang putera.
Menjadi korban dalam kejahatan perdagangan manusia
Berkeluarga tak membuat kondisi ekonomi Memey membaik. Bahkan cekcok dengan suaminya mendorong Memey kembali berangkat sebagai tenaga kerja informal ke luar negeri.
Pada Maret 2006, Memey berangkat ke Malaysia. Kali ini ia dijanjikan akan dipekerjakan sebagai penjaga toko atau pelayan restoran. "Yang membuat saya tergiur adalah karena tidak harus tinggal di penampungan," kata perempuan kelahiran Temanggung, 17 Juli 1984, itu.
Tawaran bekerja ke Malaysia didapat Memey dari kenalannya, Suyatmi, yang dikenal sebagai calo di salah satu Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). "Kali ini saya berangkat sebagai perorangan, tidak melalui agen," ujarnya.
Dari Suyatmi, Memey diserahkan kepada seorang perempuan yang bernama Sri dari Magelang. Diberangkatkan menuju Entikong, Kalimantan Barat, dengan menggunakan kapal laut melalui Semarang. "Saya berangkat bertiga, bersama Yayuk dan Ngaliah," ujar Memey.
Di Entikong, seorang pria menjemput dan mengurus segala keperluan mereka, termasuk paspor. "Saya tidak keluar uang, hanya bermodal KTP (kartu tanda penduduk)," kata Memey. Ketiga perempuan belia itu sempat menginap di sebuah rumah penampungan di Entikong selama empat hari.
Setelah mereka dibawa ke perbatasan dan diserahterimakan kepada empat pria tegap yang diketahui sebagai warga Malaysia. "Mereka seperti bodyguard. Kami dibawa ke Kuching, Malaysia," kata Memey.
Menurut Memey, sampai pada titik
ini, dia belum sadar sudah diperdagangkan. "Semuanya terasa
normal," kata dia.
Dijual setelah didandani
Sesampai di Kuching, Malaysia, pada pertengahan Maret 2006, Memey bersama dua rekannya ditempatkan di penampungan. "Mirip barak. Cuma ruang besar dengan banyak tempat tidur bertingkat yang berbaris," kata Memey.
Hari berikutnya, bersama lebih dari 10 perempuan lainnya, Memey dibawa ke mal untuk berbelanja kebutuhan. Setelah dari mal, mereka semua dibawa ke salon untuk didandani.
Seusai berdandan, para perempuan korban perdagangan manusia itu diajak makan malam bersama. "Ternyata di situ kami dipamerkan ke pelanggan-pelanggan," kata dia. Memey kemudian dibawa oleh salah seorang tamu ke sebuah hotel. "Saya belum sadar," ujarnya.
Setelah berada di dalam kamar, Memey baru sadar bahwa dia harus menyerahkan tubuhnya kepada pelanggan tersebut. "Dia bilang sudah beli saya dan berhak atas tubuh saya malam itu," ujarnya. Tangis Memey tak membuat si pria hidung belang mengurungkan niatnya. "Saya pasrah saja. Tak bisa melawan."
Dijual setelah didandani
Sesampai di Kuching, Malaysia, pada pertengahan Maret 2006, Memey bersama dua rekannya ditempatkan di penampungan. "Mirip barak. Cuma ruang besar dengan banyak tempat tidur bertingkat yang berbaris," kata Memey.
Hari berikutnya, bersama lebih dari 10 perempuan lainnya, Memey dibawa ke mal untuk berbelanja kebutuhan. Setelah dari mal, mereka semua dibawa ke salon untuk didandani.
Seusai berdandan, para perempuan korban perdagangan manusia itu diajak makan malam bersama. "Ternyata di situ kami dipamerkan ke pelanggan-pelanggan," kata dia. Memey kemudian dibawa oleh salah seorang tamu ke sebuah hotel. "Saya belum sadar," ujarnya.
Setelah berada di dalam kamar, Memey baru sadar bahwa dia harus menyerahkan tubuhnya kepada pelanggan tersebut. "Dia bilang sudah beli saya dan berhak atas tubuh saya malam itu," ujarnya. Tangis Memey tak membuat si pria hidung belang mengurungkan niatnya. "Saya pasrah saja. Tak bisa melawan."
Keesokan paginya, bodyguard rumah
penampungan sudah menjemput Memey di hotel. Kembali ke penampungan,
Memey mendapati temannya, Yayuk, histeris dan menangis terus. "Dia
akhirnya disiksa bodyguard," kata Memey. "Bahkan
dia juga diperkosa ramai-ramai."
Menjadi pekerja seks dan melayani tamu dilakoni Memey setiap hari. "Bahkan pernah dua kali dalam satu malam," kata dia. Memey hanya libur ketika mendapat haid. "Tamu terus ada setiap malam," kata Memey.
Menjadi pekerja seks dan melayani tamu dilakoni Memey setiap hari. "Bahkan pernah dua kali dalam satu malam," kata dia. Memey hanya libur ketika mendapat haid. "Tamu terus ada setiap malam," kata Memey.
Memey tidak tahu penampungan itu berada di sebelah mana
Kota Kuching. Pasalnya, perempuan-perempuan korban trafficking
tidak bisa melihat dunia luar, kecuali sedang dibawa tamu. Para
bodyguard juga menjaga mereka dengan ketat.
Mendapatkan sebuah telepon seluler
Rumah penampungan para perempuan korban trafficking pernah digeruduk polisi Malaysia, dan para penghuninya ditangkap. Belakangan mereka dilepas lagi dan kembali beroperasi.
Penggerebekan berawal dari kaburnya seorang penghuni yang kemudian melapor ke polisi. "Saya tidak ditangkap polisi karena kebetulan sedang ada pelanggan," kata Memey.
Usaha rekannya itu membuahkan hasil: seluruh isi penampungan kosong. Oleh komplotan, Memey kemudian ditransfer ke tempat penampungan lain.
Rekan-rekan Memey yang ditangkap baru dilepas sekitar dua hingga tiga pekan kemudian. "Bos besar turun tangan mengurus," kata Memey. Menurut dia, jenjang di dunia mafia perdagangan manusia tersusun rapi. Yang sehari-hari menjaga mereka hanya lapisan terbawah.
Memey sendiri mengakui tak pernah berusaha kabur karena punya strategi berbeda. "Strategi saya adalah menangis depan pelanggan dan memohon untuk membebaskan saya," kata dia.
Akhirnya, cara itu berbuah hasil. Salah seorang pelanggan Memey iba dan kerap mem-booking atau membawa Memey keluar dari penampungan. Sesampainya di hotel, si pelanggan meminta Memey beristirahat. "Dia tak menyentuh saya. Bahkan saya dilayani dan dibelikan makanan," kata Memey.
Mendapatkan sebuah telepon seluler
Rumah penampungan para perempuan korban trafficking pernah digeruduk polisi Malaysia, dan para penghuninya ditangkap. Belakangan mereka dilepas lagi dan kembali beroperasi.
Penggerebekan berawal dari kaburnya seorang penghuni yang kemudian melapor ke polisi. "Saya tidak ditangkap polisi karena kebetulan sedang ada pelanggan," kata Memey.
Usaha rekannya itu membuahkan hasil: seluruh isi penampungan kosong. Oleh komplotan, Memey kemudian ditransfer ke tempat penampungan lain.
Rekan-rekan Memey yang ditangkap baru dilepas sekitar dua hingga tiga pekan kemudian. "Bos besar turun tangan mengurus," kata Memey. Menurut dia, jenjang di dunia mafia perdagangan manusia tersusun rapi. Yang sehari-hari menjaga mereka hanya lapisan terbawah.
Memey sendiri mengakui tak pernah berusaha kabur karena punya strategi berbeda. "Strategi saya adalah menangis depan pelanggan dan memohon untuk membebaskan saya," kata dia.
Akhirnya, cara itu berbuah hasil. Salah seorang pelanggan Memey iba dan kerap mem-booking atau membawa Memey keluar dari penampungan. Sesampainya di hotel, si pelanggan meminta Memey beristirahat. "Dia tak menyentuh saya. Bahkan saya dilayani dan dibelikan makanan," kata Memey.
Hingga
pada suatu waktu, si pelanggan yang baik hati ini memberikan sebuah
telepon seluler kepada Memey. "Siapa tahu nanti berguna untuk
hubungi keluarga atau siapa pun," kata Memey menirukan ucapan si
pelanggan.
Menelepon polisi dan keluarga
Bos besar pelaku perdagangan perempuan berencana mengalihkan bisnis haramnya ke Kuala Lumpur.
Menelepon polisi dan keluarga
Bos besar pelaku perdagangan perempuan berencana mengalihkan bisnis haramnya ke Kuala Lumpur.
Memey dan teman-temannya mengetahui rencana itu karena
menguping dari obrolan di antara pada bodyguard. "Kami
sepakat untuk kabur," kata perempuan asal Temanggung, Jawa
Tengah, ini.
Teman Memey, Ade, kemudian menghubungi
keluarganya secara diam-diam melalui telepon seluler Memey. Ade
adalah korban trafficking yang berasal dari Pontianak,
Kalimantan Barat. Kebetulan salah seorang kerabat Ade ada yang
bekerja di Kuching, Malaysia.
Sehari setelah sambungan telepon itu, polisi kembali menggerebek lokasi penampungan. "Anehnya, ketika polisi menggerebek, tidak ada satu pun bodyguard yang berjaga," kata Memey. Diduga rencana penggerebekan polisi sudah diketahui jaringan mafia trafficking.
Memey kemudian dibawa sampai ke Jakarta dan menjalani tes kesehatan di Rumah Sakit Polri Kramat Jati. "Di sini baru ketahuan saya mengidap HIV," kata Memey.
Hidup dengan HIV dan berjuang bagi kaum perempuan
Hubungan tak lagi harmonis dengan suami, Memey akhirnya bercerai.
Menyandang status pengidap HIV dan janda dengan satu anak tak membuat Memey menyerah. Ia berusaha keras mencari tahu soal virus yang menggerogoti kekebalan tubuhnya itu. "Saya bolak-balik Temanggung-Salatiga untuk menjalani rehabilitasi HIV," katanya.
Jaringan advokasi pengidap HIV Salatiga didapat Memey dari sebuah pembekalan. Setelah paham seluk-beluk dunia HIV, pada 2008, Memey akhirnya membentuk kelompok sendiri di Temanggung yang diberi nama Smile Plus. "Awalnya hanya tiga orang, tapi sekarang sudah 54 orang," kata Memey.
Sehari setelah sambungan telepon itu, polisi kembali menggerebek lokasi penampungan. "Anehnya, ketika polisi menggerebek, tidak ada satu pun bodyguard yang berjaga," kata Memey. Diduga rencana penggerebekan polisi sudah diketahui jaringan mafia trafficking.
Memey kemudian dibawa sampai ke Jakarta dan menjalani tes kesehatan di Rumah Sakit Polri Kramat Jati. "Di sini baru ketahuan saya mengidap HIV," kata Memey.
Hidup dengan HIV dan berjuang bagi kaum perempuan
Hubungan tak lagi harmonis dengan suami, Memey akhirnya bercerai.
Menyandang status pengidap HIV dan janda dengan satu anak tak membuat Memey menyerah. Ia berusaha keras mencari tahu soal virus yang menggerogoti kekebalan tubuhnya itu. "Saya bolak-balik Temanggung-Salatiga untuk menjalani rehabilitasi HIV," katanya.
Jaringan advokasi pengidap HIV Salatiga didapat Memey dari sebuah pembekalan. Setelah paham seluk-beluk dunia HIV, pada 2008, Memey akhirnya membentuk kelompok sendiri di Temanggung yang diberi nama Smile Plus. "Awalnya hanya tiga orang, tapi sekarang sudah 54 orang," kata Memey.
Membuat organisasi berisi pengidap HIV
bukanlah hal mudah. Bahkan Memey sempat hendak diusir para ulama di
sana karena dinilai membawa penyakit. "Tapi akhirnya mereka bisa
menerima," kata Memey. Ia bertekad untuk tetap memberi
pengertian yang benar soal HIV. "Soalnya pengidap HIV butuh
pendampingan," kata dia.
Sebagai penyuluh HIV, pada 2009, Memey bertemu dengan Yogo, sesama pengidap HIV. Mereka kemudian menikah pada 2010 lalu dan dikaruniai anak setahun kemudian.
Harapan Memey
Sebagai korban trafficking, Memey mengajak seluruh delegasi yang hadir untuk berkolaborasi memerangi penyeludupan manusia.
"Saya harap Anda semua serius dan bekerja sama melawan human trafficking," kata Memey di forum diskusi yang digelar Kedutaan Besar Indonesia untuk Austria, dalam rangka Konferensi Negara Pihak Konvensi PBB Anti-Kejahatan Terorganisasi Lintas Negara, di Markas PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012.
"Saya tidak mau ada Memey-Memey lain," katanya. [*]
Sebagai penyuluh HIV, pada 2009, Memey bertemu dengan Yogo, sesama pengidap HIV. Mereka kemudian menikah pada 2010 lalu dan dikaruniai anak setahun kemudian.
Harapan Memey
Sebagai korban trafficking, Memey mengajak seluruh delegasi yang hadir untuk berkolaborasi memerangi penyeludupan manusia.
"Saya harap Anda semua serius dan bekerja sama melawan human trafficking," kata Memey di forum diskusi yang digelar Kedutaan Besar Indonesia untuk Austria, dalam rangka Konferensi Negara Pihak Konvensi PBB Anti-Kejahatan Terorganisasi Lintas Negara, di Markas PBB Wina, Austria, Rabu lalu, 17 Oktober 2012.
"Saya tidak mau ada Memey-Memey lain," katanya. [*]
1 komentar :
semua pelaku trafficking harus ditembak mati
Posting Komentar