Perbincangan di media sosial online
antara penganut Kristen dan Islam yang taat, seringkali telah
melebihi ungkapan-ungkapan mereka yang menyusup di kedua belah pihak
untuk menancapkan kata-kata hinaan dan intoleransi beragama terhadap
pihak lain.
Menyadari bahaya retorika kebencian seperti ini, kami telah mengutip sebagian dari tulisan Jan S. Aritonang “Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam di Indonesia” dalam Agama dalam dialog: pencerahan, pendamaian, dan masa depan; punjung tulis 60 tahun Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, h. 180-182). Hal ini untuk memberikan gambaran perkembangan sejarah yang membuat umat beragama di Indonesia, lebih khusus antara Islam dan Kristen, tak jarang terbawa pada sikap anti Pancasila yang pada hakikatnya menjunjung nilai-nilai toleransi beragama, harga-menghargai, bahkan gotong-royong.
Menyadari bahaya retorika kebencian seperti ini, kami telah mengutip sebagian dari tulisan Jan S. Aritonang “Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam di Indonesia” dalam Agama dalam dialog: pencerahan, pendamaian, dan masa depan; punjung tulis 60 tahun Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999, h. 180-182). Hal ini untuk memberikan gambaran perkembangan sejarah yang membuat umat beragama di Indonesia, lebih khusus antara Islam dan Kristen, tak jarang terbawa pada sikap anti Pancasila yang pada hakikatnya menjunjung nilai-nilai toleransi beragama, harga-menghargai, bahkan gotong-royong.
Perjumpaan antara Gereja/kekristenan
dan umat/agama Islam di Timur Tengah sudah berlangsung sejak abad
ke-7, yakni sejak munculnya agama Islam. Perjumpaan itu – dalam
arti positif maupun negatif – pada abad-abad selanjutnya berlanjut
di berbagai penjuru dunia ini, termasuk di Eropa, Afrika dan Asia
Selatan sampai Timur. Salah satu … peristiwa sangat membekas yang
menandai perjumpaan itu adalah rangkaian Perang Salib
(sekurang-kurangnya tujuh kali, antara tahun 1050-1270, berlangsung
di Eropa dan Timur Tengah). Kendati masyarakat Islam dan Kristen
Indonesia tidak ikut di dalamnya, tetapi dampak Perang Salib itu,
termasuk mentalitas yang ditimbulkannya, cukup terasa di Indonesia,
bahkan hingga dewasa ini....
Di Indonesia tidak dapat ditetapkan
secara [pasti] sejak kapan berlangsung perjumpaan antara Gereja
dengan Islam – dalam arti umum, yakni bertemunya orang-orang
beragama Kristen dengan pemeluk agama Islam. Sebab masing-masing
pihak mengklaim sebagai yang lebih dulu hadir di Indonesia sejak abad
ke-7, kendati tidak ada bukti otentik tentang klaim itu. Yang dapat
dibuktikan dengan data historis yang ada adalah sejak abad ke-16,
yakni sejak armada dagang Portugis – yang dimandati menyebar agama
Kristen/Katolik oleh Paus Katolik Roma – datang ke Kepulauan
Nusantara ini.
[p]
Itu dilanjutkan oleh VOC (abad ke-17 dan 18) yang juga
mengemban tugas menyiarkan agama Kristen [Protestan] menurut
pengakuan iman Belanda. Perjumpaan itu bermula di Kepulauan Maluku,
lalu kemudian di kawasan-kawasan lain. Perjumpaan itu pada umumnya
bercorak negatif, dalam arti: pihak Islam (yang sudah mendapat tempat
dan kekuatan politik dalam berbagai kerajaan ataupun kesultanan)
melihat pihak Kristen sebagai orang “kafir”, lalu menolak
kehadiran pihak Kristen bila bertujuan mengabarkan Injil atau
mengkristenkan masyarakat Islam.
[p]
Sementara itu pihak Kristen juga
memelihara gambaran negatif tentang agama Islam (yakni Islam sebagai
musuh), sebagai warisan Perang Salib tadi. Karena itu, perjumpaan
(encounter) dalam arti yang sejati, yakni masing-masing pihak
berusaha untuk mengenal dan memahami pihak lain, belum terjadi sampai
akhir abad ke-19.
Ketika para utusan Injil (zendeling:
Missionar) berangsur-angsur datang ke Indonesia dari Eropa sejak awal
abad ke-19, sikap negatif terhadap Islam itu masih melekat pada
mereka. Di satu sisi mereka mengakui umat Islam sebagai penyembah
Tuhan (karena itu mereka umumnya tidak menyebut umat Islam sebagai
“kafir”), tetapi di sisi lain mereka tetap memandang umat Islam
sebagai musuh yang harus ditaklukkan; dan penaklukan yang paling
efektif adalah dengan mengkristenkan mereka. Dengan kata lain, sikap
trimfalistik [penaklukan], sebagai bagian dari mentalitas Perang
Salib itu, cukup kuat melekat pada para penginjil itu.
[p]
Pada gilirannya sikap dan pemahaman itu
mereka wariskan kepada masyarakat pribumi yang berhasil mereka
kristenkan (terutama yang berasal dari lingkungan agama [etnik], yang
sering disebut [oleh] para penginjil sebagai agama kafir,
sipelebegu).
Sementara
itu pihak Islam, kendati sedikit-banyak menyadari bahwa orang Kristen
adalah Ahlul Kitab,
namun karena warisan Perang Salib itu mereka mencap agama Kristen
sebagai kafir, dan juga sebagai agama penjajah, tanpa merasa perlu
mencari tahu apakah pemerintah kolonial itu (terutama Belanda) bisa
disebut Kristen. Karena itu, upaya dalam sejarah pekabaran Injil di
Indonesia pada sisi tertentu bisa juga dilihat sebagai sejarah
pergumulan (persaingan) antara Gereja/kekristenan dan Islam.
Berhubung
artikel kecil ini merupakan pemikiran berdasarkan sejarah, kami tidak
memasukkan diskusi teologis yang juga menjadi bagian dari
anggapan-anggapan keliru di antara dua Agama Abrahamik ini. Contoh
yang paling populer adalah pemahaman Trinitas dalam Agama Kristen,
sebuah divine mystery (rahasia
ilahi) yang sering menjadi batu sandungan bagi agama lain, karena
menganggap kekristenan menyembah tiga Allah. Untuk percakapan ini
tentunya lebih baik dibahas secara tersendiri.
Namun
pada akhirnya, kami merekomendasikan buku penghargaan ulang tahun
Prof. Olaf ini sebagai bahan sumber untuk mendalami dialog antarumat
beragama di Indonesia. Salah satu penulis di dalamnya adalah Dr.
Komaruddin Hidayat dari
Yayasan Paramadina Jakarta.***
0 komentar :
Posting Komentar