Para peserta kontes kecantikan sedunia 2013 di Bali mengenakan pakaian adat dari seluruh penjuru Nusantara (foto: sulutdaily). |
INDONESIA, Bali (MP) – Para penggiat kontes kecantikan,
termasuk para peserta, nampak mulai memahami bahwa kontes
kecantikan tak harus menjadi alat neo-kolonialisme budaya yang
mempropagandakan satu bentuk persepsi budaya.
Hal ini nampak dari pelaksanaan Miss
World 2013 di Bali yang diikuti oleh 130 peserta.
Pelaksanaan iven pemilihan ratu
kecantikan sedunia ini memang telah lama melekat dengan imej ratu
Vhasti yang menyerah pada tuntutan para juri.
Baru di Indonesia para ratu Vhasti
tampak simpatik, pintar, dan mempesona.
Warna-warni pakaian adat yang mewakili
daerah-daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kecantikan itu justru
nampak dalam kepribadian, kepintaran emosional dan budaya, termasuk
senyum; bukan pada minimnya pakaian yang menutup tubuh seorang
perempuan.
Perubahan imej kontes kecantikan yang
diselenggarakan di Bali ini erat terkait dengan aspirasi masyarakat.
Penolakan terhadap kegiatan ini datang dari sejumlah ormas Muslim
yang menilai bahwa kontes ini akan menjadi ajang mengumbar aurat.
Tapi kepekaan budaya panitia pelaksana
dalam koordinasi dengan pemerintah dapat diapresiasi.
Acara pembukaan yang dilaksanakan di
Nusa Dua diisi dengan lagu-lagu Indonesia dan pakaian adat wanita dari seluruh
penjuru Nusantara.
Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, menjelaskan bahwa
penyelenggaraan kontes ini telah disesuaikan dengan norma dan
kebudayaan serta adat istiadat Indonesia, termasuk kepentingan
kemajuan pariwisata Indonesia.
Detiknews menulis “Para Miss World,
mengaku senang bisa menggunakan pakaian adat asal Indonesia, selain
penuh warna, detail desain pakaian adat Indonesia ternyata unik dan
begitu mencerminkan kecantikan Indonesia, seperti yang diakui oleh
Miss World Kamerun Denise Ayena.” []
0 komentar :
Posting Komentar