"Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah."
Home » , , , , , , » Pengangkatan uskup perempuan di Gereja Anglikan terbentur: Bukan masalah perempuan

Pengangkatan uskup perempuan di Gereja Anglikan terbentur: Bukan masalah perempuan

Written By Menara Penjaga on Kamis, 22 November 2012 | 08:16

Suasana pertemuan Gereja Inggris
(foto: nwherald.com)
INGGRIS, London (21 November 2012).

Gereja Inggris hari Selasa kemarin melakukan voting untuk menetapkan pengangkatan uskup perempuan di lingkungan gereja itu. Hasil pengambilan suara menetapkan bahwa hal ini belum akan terjadi sekalipun mendapat dukungan kuat dari petinggi-petinggi gereja. Peraturan ini tidak lulus setelah gagal memperoleh 2/3 dukungan suara. Keberatan terutama datang dari utusan-utusan jemaat .

Hal ini menunjukkan suatu iklim berdemokrasi yang sehat di tubuh Gereja Anglikan itu sendiri, sekalipun yang terdengar di seluruh penjuru dunia adalah keluhan dari para petinggi gereja karena gagalnya upaya menetapkan uskup perempuan di gereja, dan tentunya digaungkan oleh berbagai media untuk maksud dan tujuannya masing-masing.

Keterbukaan terhadap uskup perempuan sudah cukup besar di kalangan Gereja Anglikan, dengan berbagai anggota Komuni Anglikan, seperti Australia, New Zealand, Amerika Serikat, dan baru-baru ini Afrika Selatan, telah menerima perempuan untuk menjabat sebagai uskup, yang secara tradisi Gereja Anglikan diserahkan kepada laki-laki.

Gagal ditetapkannya peraturan ini di lingkungan Gereja Inggris adalah lebih karena pengaturannya yang masih belum meyakinkan bagi sebagian kalangan yang memilih untuk tidak dipimpin oleh uskup perempuan berdasarkan pemahaman teologinya.

Canon Simon Killwick dari Manchester mengungkapkan bahwa pada prinsipnya pengangkatan perempuan pada posisi uskup disetujui, namun menurutnya peraturan yang diusulkan masih merupakan “legislasi yang keliru untuk memperkenalkan uskup perempuan.”


Politisir istilah "perempuan" 

Dalam situasi ini, cukup mudah mempolitisir istilah “perempuan” dan mengabaikan kenyataan bahwa proses gerejawi yang sedang berlangsung adalah menyangkut kebijakan bergereja (organisasi) dan bukan gender.

(Tulisan yang relevan mengenai topik ini adalah "There Are No Women Voters—and No Women’s Issues"  di Her.meneutics oleh Lauren Barthold dan Brian Glenney, keduanya dosen di Gordon College, AS. [Lihat di sini])

Apapun masalah yang dihadapi Gereja Inggris, yang harus diwaspadai adalah upaya untuk meningkatkan anti-pati terhadap kehadirannya dengan cara menciptakan profil anti-perempuan, anti kesamaan derajat atau  diskriminatif, yang sering dimuntahkan oleh aktivis sekularisme. 

Persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki tidak ditentukan oleh apakah sebuah organisasi gereja menetapkan kedua gender dapat dipilih untuk sebuah jabatan, dan perlu dipahami bersama bahwa setiap organisasi, apakah gerejawi atau bukan, pada titik tertentu bersikap diskriminatif untuk menegakkan peraturannya.

Seyogyanyalah proses berdemokrasi dalam Gereja Inggris ini kita hargai dalam doa dan pergumulan. Seperti yang disampaikan oleh Uskup Agung Welby dalam pesan twitternya: "Hari yang sangat kelam, terutama bagi para imam perempuan dan pendukung mereka, [mereka] perlu dikelilingi dengan doa dan kasih dan kerja sama bersama Allah penyembuh kita."

Setiap gereja punya mekanisme dan pengorganisasiannya sendiri untuk menjawab keterpanggilannya di dunia ini, dan sekalipun gereja gagal, Tuhan tidak pernah gagal. Dalam bergereja, jalur pengambilan keputusan itu harus senantiasa diserahkan pada kewenangan Allah yang bekerja menurut maksud dan rencanaNya sendiri.(CS Monitor/MP)
Share this article :

0 komentar :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Menara Penjaga - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger