Suasana pertemuan Gereja Inggris (foto: nwherald.com) |
INGGRIS, London (21 November 2012).
Gereja Inggris hari Selasa kemarin
melakukan voting untuk menetapkan pengangkatan uskup perempuan di lingkungan
gereja itu. Hasil pengambilan suara menetapkan bahwa hal ini belum
akan terjadi sekalipun mendapat dukungan kuat dari petinggi-petinggi
gereja. Peraturan ini tidak lulus setelah gagal memperoleh 2/3 dukungan suara. Keberatan terutama datang dari utusan-utusan jemaat .
Hal ini menunjukkan suatu iklim
berdemokrasi yang sehat di tubuh Gereja Anglikan itu sendiri,
sekalipun yang terdengar di seluruh penjuru dunia adalah keluhan dari
para petinggi gereja karena gagalnya upaya menetapkan uskup perempuan
di gereja, dan tentunya digaungkan oleh berbagai media untuk maksud
dan tujuannya masing-masing.
Keterbukaan terhadap uskup perempuan
sudah cukup besar di kalangan Gereja Anglikan, dengan berbagai
anggota Komuni Anglikan, seperti Australia, New Zealand, Amerika
Serikat, dan baru-baru ini Afrika Selatan, telah menerima perempuan
untuk menjabat sebagai uskup, yang secara tradisi Gereja Anglikan
diserahkan kepada laki-laki.
Gagal ditetapkannya peraturan ini di
lingkungan Gereja Inggris adalah lebih karena pengaturannya yang
masih belum meyakinkan bagi sebagian kalangan yang memilih untuk
tidak dipimpin oleh uskup perempuan berdasarkan pemahaman teologinya.
Canon Simon Killwick dari Manchester
mengungkapkan bahwa pada prinsipnya pengangkatan perempuan pada
posisi uskup disetujui, namun menurutnya peraturan yang diusulkan
masih merupakan “legislasi yang keliru untuk memperkenalkan uskup
perempuan.”
Politisir istilah "perempuan"
Dalam situasi ini, cukup mudah mempolitisir istilah “perempuan” dan mengabaikan kenyataan bahwa proses gerejawi yang sedang berlangsung adalah menyangkut kebijakan
bergereja (organisasi) dan bukan gender.
(Tulisan yang relevan mengenai topik ini adalah "There Are No Women Voters—and No Women’s Issues" di Her.meneutics oleh Lauren Barthold dan Brian Glenney, keduanya dosen di Gordon College, AS. [Lihat di sini])
Apapun masalah yang dihadapi Gereja Inggris, yang harus diwaspadai adalah upaya untuk meningkatkan anti-pati terhadap kehadirannya dengan cara menciptakan profil anti-perempuan, anti kesamaan derajat atau diskriminatif, yang sering dimuntahkan oleh aktivis sekularisme.
(Tulisan yang relevan mengenai topik ini adalah "There Are No Women Voters—and No Women’s Issues" di Her.meneutics oleh Lauren Barthold dan Brian Glenney, keduanya dosen di Gordon College, AS. [Lihat di sini])
Apapun masalah yang dihadapi Gereja Inggris, yang harus diwaspadai adalah upaya untuk meningkatkan anti-pati terhadap kehadirannya dengan cara menciptakan profil anti-perempuan, anti kesamaan derajat atau diskriminatif, yang sering dimuntahkan oleh aktivis sekularisme.
Persamaan
derajat antara perempuan dan laki-laki tidak ditentukan oleh apakah sebuah
organisasi gereja menetapkan kedua gender dapat dipilih untuk sebuah
jabatan, dan perlu dipahami bersama bahwa setiap organisasi, apakah gerejawi atau bukan, pada titik tertentu bersikap diskriminatif untuk menegakkan peraturannya.
Seyogyanyalah proses berdemokrasi dalam Gereja Inggris ini kita hargai dalam doa dan pergumulan. Seperti yang
disampaikan oleh Uskup Agung Welby dalam pesan twitternya: "Hari yang sangat kelam, terutama bagi para imam perempuan dan pendukung mereka, [mereka] perlu dikelilingi dengan doa dan kasih dan kerja sama bersama Allah penyembuh kita."
Setiap gereja punya mekanisme dan
pengorganisasiannya sendiri untuk menjawab keterpanggilannya di dunia
ini, dan sekalipun gereja gagal, Tuhan tidak pernah gagal. Dalam bergereja, jalur pengambilan keputusan itu harus senantiasa diserahkan pada kewenangan Allah yang bekerja menurut maksud dan rencanaNya sendiri.(CS Monitor/MP)
0 komentar :
Posting Komentar