Ilustrasi hidup beragama yang pancasilais. |
INDONESIA, Banda Aceh (26 Oktober 2012).
Pada Senin (15/10), Pemerintah Kota Banda Aceh meminta sembilan gereja dan enam wihara di Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh yang tidak memiliki izin ditutup. Izin yang harus dipenuhi antara lain SKB Menag dan Mendagri serta Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh No 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.
Kejadian itu menuai kecaman oleh sejumlah kalangan dari luar provinsi Aceh. Namun, para tokoh Aceh mengatakan bahwa banyak kalangan yang salah paham tentang penutupan ini.
Sejumlah tokoh masyarakat di Banda Aceh meminta, berbagai pihak di Jakarta dan di daerah lain di luar Aceh jangan salah paham dengan penutupan rumah ibadah di provinsi Aceh beberapa waktu yang lalu.
"Rumah ibadah yang ditutup di Banda Aceh
bukanlah rumah ibadah yang legal atau yang didirikan sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku, tapi sejumlah gereja dan wihara yang dilarang
penggunaannya adalah yang tidak memiliki izin," ujar Rusli Ibrahim, salah seorang tokoh masyarakat di Banda Aceh, Rabu (24/10).
Rusli
menyebutkan, dalam beberapa hari ini, sejumlah anggota DPR di Jakarta
dan pihak-pihak lain terkesan memaksakan kehendaknya untuk Aceh, seolah-olah mereka cukup paham dengan permasalahan yang terjadi di Aceh.
"Jika mereka terus berkomentar tanpa mengetahui kejadian sebenarnya, hal tersebut bisa memancing konflik di Aceh. Kami tidak ingin konflik agama seperti di daerah lain di Indonesia juga terjadi di Aceh," kata Rusli.
Menurut Rusli, Pemerintah Kota Banda Aceh melarang semua orang melaksanakan ibadah tidak pada tempatnya, seperti toko dan rumah masyarakat dan semua rumah ibadah yang tidak memiliki izin harus ditutup.
"Saya rasa ini cukup adil agar tidak ada warga Banda Aceh
yang menjadi korban kemarahan warga yang lain. Selama ini rumah ibadah
yang legal milik agama apa pun tidak pernah diganggu oleh masyarakat," tutur Rusli.
Sementara Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengaku belum mengetahui soal penutupan rumah ibadah yang dilakukan Pemkot Banda Aceh tersebut.
"Saya belum mengetahui kenapa bisa terjadi hal seperti itu, padahal Aceh
itu daerah yang memiliki toleransi terhadap umat beragama. Nanti saya
akan coba menanyakan ke pihak sana terlebih dahulu," katanya saat
dihubungi Sinar Harapan, Kamis (25/10).
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos,
menyayangkan kejadian tersebut, karena mengulang kembali
peristiwa-peristiwa yang terkait dengan penutupan rumah ibadah.
Menurutnya, kejadian tersebut adalah salah satu bentuk pengabaian
pemerintah terhadap kebebasan beragama.
Padahal,
kebebasan beragama adalah mutlak dan negara wajib untuk melindungi.
"Ini suatu bentuk diskriminasi dan sebuah pelanggaran hak asasi
manusia, karena rumah ibadah itu adalah tempat untuk berkumpul dan
mengekspresikan nilai-nilai agama," katanya, Kamis.
Selain
itu, dampak yang bisa ditimbulkan dari kejadian tersebut adalah rasa
tidak nyaman bagi kaum minoritas, karena akan dianggap sebagai second
class. "Bisa juga akan timbul ketegangan sosial yang berujung pada
konflik. Ini bisa meledak kapan saja," ia melanjutkan.
Meskipun Setara Institute tidak menyetujui adanya SKB Menag dan Mendagri, tetapi jika
itu yang menjadi pedoman pemerintah lokal, seharusnya bisa menerapkan
Pasal 17.
"Dalam
Pasal 17 sudah jelas, kalau ada hal-hal yang membuat sebuah komunitas
tidak bisa memenuhi persyaratan untuk mendirikan tempat ibadah,
pemerintahlah yang mencarikan tempat dan memberikan solusi kepada
mereka. Ini yang selama ini tidak pernah dipakai dan diperhatikan," kata
Bonar.
Kejadian
yang menunjukkan adanya sikap intoleransi ini seharusnya tidak perlu
terjadi jika pemerintah, baik lokal maupun pusat, bisa menerapkan UUD 1945 mengenai kebebasan beragama, serta menjalankan Pasal 17 SKB Menag dan Mendagri.
Sebagai negara Pancasila, semua masyarakat beragama itu didorong, bukan ditekan. (Jawaban/SH/MP)
0 komentar :
Posting Komentar