Suriah (foto: tribunnews) |
Situasi di Suriah telah mendorong
gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga di Timur Tengah. Umat
Kristen dan minoritas lainnya sedang menghadapi keadaan yang lebih
sulit dibanding kesengsaraan masyarakat Suriah lainnya.
Perang di Suriah saat ini tak hanya
antara pemerintah dan pihak oposisi, tapi juga menyangkut kekuasaan
dari sudut geopolitik global. Suriah berbatasan langsung dengan Israel dan
keduanya masih tegang berhubungan dengan dataran
tinggi Golan yang diduduki Israel tahun 1967.
Baik Amerika Serikat (AS) dan gerakan
politik Islam melihat kepentingan besar di Suriah.
Umat Kristen mengakui mempunyai tingkat
kebebasan beragama yang relatif baik di bawah pemerintahaan Bashar
al-Assad, dan tekanan dari kelompok pemberontak akan menyudutkan umat
Kristen untuk memilih buah simalakama.
Jika benar bahwa masyarakat Kristen,
yang dianggap sebagai pendukung pemerintah Assad, diancam dengan
kekerasan apabila tidak memihak kelompok pemberontak, maka hal ini dapat
berarti sebuah ketukan hukuman mati bagi Kekristenan di Suriah.
Karena untuk memilih di antara keduanya, itu berarti menaruh umat
Kristen pada posisi target. Tak ada yang dapat memastikan masa depan
Kekristenan di negara di mana para pengikut Kristus untuk pertama
kalinya disebut Kristen itu.
Sekarang ini AS dan gerakan politik
Islam nampak berkolaborasi untuk menumbangkan pemerintah Assad, jika
nasib berkehendak demikian, bagaimanakah bentuk negara Suriah setelah
perang sipil ini? Apakah nantinya ada sequel (seri 2) di arena ini?
Sekarang ini bola masih berada di
lapangan. Rusia dan Cina, dua negara adidaya, paling tidak sudah tiga kali memblok
resolusi PBB untuk sangsi yang lebih berat bagi Suriah, termasuk
tekanan militer. Iran yang sedang dalam posisi tegang dengan musuh
bebuyutan Israel dan AS telah menyatakan mendukung Suriah.
Bagaimanakah kelanjutan sejarah Suriah,
dan terlebih khusus umat Kristen di sana? Kita lihat saja nanti. Ini
tentu saja adalah penantian dengan doa.
Sebuah refleksi. Jika saja politik yang
menyangkut kekuasaan dan dominasi ini tidak melibatkan isu agama,
setidaknya akan lebih kurang masyarakat sipil tak bersalah yang harus
dikorbankan atas nama pencarian hubungannya dengan Tuhan. Sayang, politik dan
agama, atau yang menjadikan politik sebagai agama, telah menjadi
alat untuk menyabet kekuasaan dan dominasi.
Tidak ada kekuatan politik atau
institusi agama yang dapat mencegah tragedi kemanusiaan seperti ini,
tapi malapetaka demikian mungkin dapat dihindari jika setiap orang yang mencari Tuhan dan
kebajikan menyatakan TIDAK pada politisasi agama untuk kekuasaan dan
dominasi, dan hidup menghargai nilai-nilai kehidupan.***
0 komentar :
Posting Komentar