(gambar: portibionline) |
Sebuah
laporan yang mengundang kontroversi diungkapkan oleh Ansyaad
Mbai, mewakili
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dalam rapat
Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL) Tahun Anggaran 2013
bersama Komisi III DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis
(6/9/2012).
Dalam
presentasinya Mbai mengatakan 86 % mahasiswa di 5
universitas kenamaan di Pulau Jawa tidak lagi menerima
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, demikian dilaporkan
DetikNews.
Pada saat berita ini dipublikasikan
komentar pada artikel tersebut di DetikNews telah mencapai 253.
Berbagai komentar yang dituliskan diantaranya bernada kritik
terhadap korupsi dan kemiskinan. Selain itu juga ada pertanyaan
tentang kekritisan mahasiswa dan metode penelitian yang digunakan
Mbai.
J. P. Hutagalung, salah satu komentator pada artikel tersebut, menyangsikan kalau mahasiswa menolak butir-butir luhur Pancasila.
Perbincangan tentang Pancasila juga
turut mewarnai berbagai media sosial on-line seperti group Suara Rakyat
Minahasa. Facebooker Evert Maximillan Pangajouw mem-post
kemarin:
...Anggaplah Pancasila itu seperti
bunyi tulisan...BUANG AIR BESAR/AIR KECIL HARUS DISIRAM. Apakah
anda...merasa nyaman kalau toilet yang anda pakai tidak disiram oleh
pengguna sebelumnya? Kalau sekarang [P]ancasila tak lagi 'sexy' ...,
maka yang salah adalah 'oknum' yang baru saja keluar dari toilet itu,
bukan tulisan BUANG AIR BESAR/KECIL HARUS DISIRAM...
Logika tersebut menempatkan argumentasi
korupsi dan kemiskinan melawan Pancasila pada pemikiran tidak kritis.
Tapi jika laporan Mbai itu benar kemungkinan ada
faktor-faktor lain di belakang sikap para mahasiswa itu dan perongrong
Pancasila lainnya. Apakah termakan indoktrinasi radikalisme, atau
menanti pembagian tropi ketika Indonesia dibagi-bagi.
Sementara itu, diberitakan bahwa BNPT sedang
berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika
menyangkut penutupan media-media yang pemberitaannya memicu
radikalisme. Pasalnya BNPT tidak mempunyai kewenangan mengenai
penutupan itu.
Penutupan media radikalisasi tersebut
mendapat dukungan Anggota Komisi Hukum DPR Eva Kusuma Sundari.
Ia kuatir banyak generasi muda terjerumus aksi terorisme akibat
kemasan pemberitaan yang mendukung aksi terorisme.
"Iya saya baca, bahwa ada
website menurunkan semua argumen menghalalkan melawan negara. Dan itu
aneh kalau Kominfonya diam saja. Urusan paha ditutup untuk
pornografi, tapi urusan nyawa dibiarkan saja. Jadi memang pemerintah
harus memfokuskan pada penindakan di hulu," demikian
ungkapnya seperti dikutip KBR68H. Ia menambahkan bahwa penutupan
harus dilakukan sesuai aturan. (MP)
0 komentar :
Posting Komentar