Oleh: Harry Kawilarang*
Jakarta, 17 Agustus 1945. Pagi itu, dua mahasiswa kedokteran (Ika Daigaku), Teuku Tadjoeloedin dan Oscar Engelen mengayuh sepeda menuju Hotel Des Indes (kini Duta Merlin Plaza). Mereka ini baru saja mengedarkan pamflet-pamflet proklamasi kemerdekaan. Tujuannya untuk menemui utusan PPKI dari Indonesia Timur yang menginap di Hotel Harmoni. Tujuannya untuk menanyakan mengenai rencana Mukadimah yang dinilai kontroversial. Sebab, pada Rencana Mukadimah sebagai kata Pembukaan rencana UUD 1945 yang disahkan oleh Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BUPPK) pada 22 Juni 1945. Dalam Mukadimah terdapat kalimat berbunyi: “Ketuhanan dan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kalangan mahasiswa bertanya-tanya arti kalimat itu. Timbul pertanyaan, bagaimana hal itu boleh terjadi? Tadoeloedin dan Engelen menemui para utusan Indonesia Timur selain minta tanggapan mereka, juga mengundang menjadi tamu di Asrama Prapatan 10.
Setiba di depan kamar Dr. G. S. S. J. Ratu Langie, mereka berpapasan dengan Mr. Pudja dari Bali yang sedang menunggu “Oom Sam” (sapaan akrab untuk Dr. Ratu Langie di kalangan mahasiswa). Ketiga mereka langsung terlibat dalam percakapan seru mengenai masalah mukadimah yang rencananya akan di undangkan dalam Konstitusi pada rapat PPKI esok hari (18 Agustus). Mr. Pudja mengatakan: “Saya dan utusan Indonesia Timur tidak setuju dengan beberapa bagian dari Konstitusi, khususnya pada kalimat: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, juga mengenai Presiden yang harus beragama Islam.”
Setiba di depan kamar Dr. G. S. S. J. Ratu Langie, mereka berpapasan dengan Mr. Pudja dari Bali yang sedang menunggu “Oom Sam” (sapaan akrab untuk Dr. Ratu Langie di kalangan mahasiswa). Ketiga mereka langsung terlibat dalam percakapan seru mengenai masalah mukadimah yang rencananya akan di undangkan dalam Konstitusi pada rapat PPKI esok hari (18 Agustus). Mr. Pudja mengatakan: “Saya dan utusan Indonesia Timur tidak setuju dengan beberapa bagian dari Konstitusi, khususnya pada kalimat: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, juga mengenai Presiden yang harus beragama Islam.”
Sedang ia berbicara, muncul Andi Pangeran, utusan Sulawesi dan ikut bergabung dalam percakapan. Terdengar suara lantang dan nyaring Andi Pangeran: “Ini tidak boleh jadi, pokoknya Konstitusi ini harus diubah.” Suasana menjadi ramai ketika Mr. Tadjoedin Noor dari Kalimantan ikut nimbrung yang juga tidak setuju. Teuku Tadjoeloedin menjelaskan: “Kami sejak semula tidak setuju dengan beberapa bagian dari isi Konstitusi, sama dengan pendapat bapak-bapak.”
Suara ramai di luar terdengar pula dari dalam kamar “Oom Sam” yang mengikuti isi percakapan. Iapun membuka pintu kamar dan langsung menimpali: “Kalau begitu kita semuanya sepaham, mari kita bersama mengubah Konstitusi ini.” Ratu Langie dan kawan-kawan pun mengatakan akan memenuhi undangan Asrama Prapatan 10 siang hari nanti. Sebelumnya, di hari Minggu menjelang hari Proklamasi, para mahasiswa Ika Daigaku asal Indonesia Timur berkumpul di kediaman Mr. Alex Maramis di Jalan Merdeka Timur. Terlihat di antaranya, Piet Mamahit, Oscar Engelen, Freddy Pattiasina, Yoel Therik, Wim Gerungan, Zus Ratoe Langie, Stans Palilingan, Ester Wowor, Arie Supit, Hukom, Kaligis, Thiam, Djauhari M Noor, Baharoedin, Abdoerachman Noor, Ngurah Rai, Komang Makes. Oscar Engelen bertanya kepada Mr. Maramis: “Oom Alex, kenapa rencana Mukadimah jadi berbunyi begitu, dengan kalimat yang mewajibkan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan bagaimana sampai itu terjadi?”
Mendengar pertanyaan ini, "Oom Sam” Ratu Langie datang mendekat dan yang hadirpun mendekati Maramis untuk mendengar jawaban. Alex Maramis mengatakan: “Sebenarnya semua peserta dalam rapat BUPPK menolak sebutan agama Islam dimasukkan dalam Mukadimah.”
Dua minggu sebelumnya dalam pembukaan rapat Ketua Dr. Radjiman mengemukakan bahwa atas permintaan anggota, antara lain Abikusno dan K H Hadikoesoemo, soal agama supaya dimasukkan lagi dalam acara rapat untuk dibicarakan. Mr. Soebardjo, Mr. Iwa Koesoema Soemantri dan Mr. Alex Maramis menolak permintaan Ketua dengan alasan nanti rapat akan bertele-tele dan tugas BUPPK tak selesai pada waktunya. Tetapi Ketua meneruskan kehendaknya, hingga ketiga mereka ini yang menolak meninggalkan rapat dengan komentar bahwa Ketua tidak disiplin.
Kepada para mahasiswa dan pemuda asal Indonesia Timur, Alex Maramis mengungkapkan: “Sewaktu kami bertiga kembali ke ruang rapat, oleh Ketua diberitahukan bahwa rapat sudah setuju memasukkan dalam Mukadimah kalimat yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Maramis mengatakan “yah begitulah yang terjadi.”
Mendengar penjelasan Maramis itu, Sam Ratu Langie dengan spontan bereaksi (beraksen bahasa Melayu-Manado): “Ah Alex, ini serius, ngana jangang maraju. Nanti kita pi baku dapa en bicara tentang hal ini deng tamang-tamang dari Makassar” (Alex, ini serius, kamu tidak boleh merajuk. Nanti saya bicara hal ini kepada mereka dari Makassar.” Djauhari Noor nyeletuk gurau: “Wah Engelen, nanti semua orang Kristen diharuskan masuk gereja tiap hari minggu.” Yang lain pun mengomentari: “Itulah persoalannya, harus dipisahkan soal Negara dan Agama.”
Jakarta, 17 Agustus 1945. Pada siang hari sekitar jam 12.00 setelah usai upacara Proklamasi Kemerdekaan di kediaman Soekarno Jalan Pegangsaan Timur 56, dihadiri beberapa anggota panitia luar Jawa, termasuk dari Indonesia Timur, Dr. Ratu Langie, wakil dari Sulawesi; Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran Noor dari Kalimantan; Mr. J. Latuharhary, dari Maluku; Mr. I Ketut Pudja, dari Bali dan Andi Pangeran dari Sulawesi Selatan.
Pembahasan berkisar mengenai rencana Undang-Undang Dasar yang akan ditetapkan sebagai konstitusi. Para mahasiswa berpendapat bahwa yang akan digunakan adalah konsep Piagam Jakarta dan rencana UUD yang telah disusun dengan mengadakan beberapa perubahan yang mendasar. Para wakil daerah luar Jawa, terutama yang mewakili agama di luar agama Islam (Kristen, Hindu-Bali, Budha dll.) merasa keberatan apabila dalam preambul ada kalimat: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Karena hal ini bisa diartikan bahwa dasar negara Indonesia adalah Islam. Mereka menghendaki kalimat diubah menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Para utusan menghendaki beberapa pasal dalam rencana UUD, yang menyatakan bahwa Presiden harus seorang Islam, juga diubah sehingga pasal 6 ayat 1 berbunyi: “Presiden adalah orang Indonesia asli.”
Usulan utusan Indonesia Timur mendapat perhatian mahasiswa, dan menyadari perlunya persatuan bangsa dilandasi oleh nilai-nilai kebineka-an. Hari itu juga para mahasiswa menyampaikan kepada Bung Hatta melalui telepon. Bung Hatta setuju menemui delegasi mahasiswa di sore hari. Pada jam lima sore Hatta menerima delegasi mahasiswa Asrama Prapatan 10 di kediamannya di Jalan Diponegoro 57 dan menjelaskan alasan perubahan oleh utusan Indonesia Timur di siang hari. Delegasi itu terdiri dari 3 mahasiswa, Piet Mamahit, Moeljo dan Imam Slamet. Masalah Piagam Jakarta yang dimasukkan kedalam rencana Mukadimah sebelumnya pernah dipermasalahkan oleh Shegitada Nishijima, selaku penasehat Bukanfu (Panglima Perwakilan Angkatan Laut di Jakarta) kepada Bung Hatta. Menurut Nishijima (wawancara penulis di Tokyo pada 12 Agustus 1984) ketika dilakukan penyusunan piagam itu, tak ada orang Jepang yang hadir. Dari hasil pertemuan itu, Hatta memahami permasalahan utusan Indonesia Timur yang disampaikan ketiga mahassiswa ini. Hatta berjanji akan meninjau kembali isi Mukadmimah dan akan disampaikan pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan besok, 18 Agustus 1945.
Jakarta, 18 Agustus 1945. Pagi itu di ruang rapat, sebelum rapat PPKI dimulai, Bung Hatta sedang berbicara khusus dengan utusan Sumatra, Mr. Teuku Mohammad Hassan. Pada percakapan itu Bung Hatta mendesak Teuku Hassan “mendekati” pendukung posisi Islam terkuat pada panitia itu, Ki Bagoes Hadikusumo pemimpin Muhammadiyah dari Yogyakarta. Teuku Hassan adalah turunan uleebalang (bangsawan Aceh) dari Sigli, yang dikenal sebagai penganut Islam yang gigih. Tetapi Mr. Teuku Hassan amat intelek dan luwes dalam pergaulan. Hassan pun menerima pandangan Hatta lalu mendekati dan berhasil membujuk Ki Bagus Hadikusumo menerima penghapusan setiap penyebutan Islam dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hassan menekankan pentingnya nilai-nilai persatuan bangsa. Untuk itu adalah mutlak untuk tidak memaksa kaum minoritas Kristen (Minahasa, Batak, Ambon, Flores dan Timor) masuk dalam lingkungan Belanda yang sedang berusaha kembali. Dengan mempertahankan ketentuan-ketentuan itu akan menempatkan orang-orang Kristen pada posisi warga-negara kelas dua.
Dari pertemuan itu, Teuku Hassan mengatakan: “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati umat Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ke Tuhanan Yang Maha Esa.’” Teuku Hassan berhasil meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo dan setelah pandangan-pandangan ini dikemukakan antara kelima peserta itu, sidang dibuka pada jam 09.30 dan merevisi yakni penambahan pada UUD 1945 dengan menghilangkan sebutan Islam pada Mukadimah. Para peserta pada pertemuan itu menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkatan “Ke Tuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ke Tuhanan Yang Maha Esa.”
Pada buku Memoir, Mohammad Hatta mengatakan: “bahwa perbedaan hukum antara penduduk yang beragama Islam atau beragama Kristen akan terdapat terutama dalam bidang hukum keluarga. Dalam bidang hukum Perdata lainnya, hukum perniagaan dan hukum pidana tidak perlu ada perbedaan. Dalam bidang-bidang ini mesti ada persatuan hukum bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Mungkin di sana sini ada pengaruh adat sedikit dalam melaksanakan hukum, tetapi tidak akan mempengaruhi pokoknya yang azasi. Misalnya hukum yang menjadi dasar pembayaran dengan wesel atau cek sementara tidak dijalankan pada beberapa bagian di Indonesia. Tetapi itu tidak berarti, bahwa dasar perhubungan wesel dan cek tidak laku di situ.”***
Harry Kawilarang adalah seorang jurnalis internasional dan pengarang buku. Biografi singkatnya dapat dilihat di theminahasa.net.
Sumber:
https://www.facebook.com/groups/49601457729/permalink/10151645792457730/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar