Rabu, 13 November 2013

Pahlawan nasional Indonesia itu seorang tokoh gereja


Jumat 8 November 2013 lalu, Presiden Republik Indonesia (RI) Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar kepahlawanan kepada tiga tokoh atas jasa-jasa mereka bagi negara. 

Penganugerahan itu dilakukan di Istana Negara, Jakarta, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 68/TK/2013 tertanggal 6 November 2013.


Salah satu tokoh yang menerima kehormatan tersebut adalah alm. Letnan Jenderal TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang

Tokoh kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara, 28 Januari 1920 ini di antaranya berperan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 1949. Ia adalah satu dari dua tokoh militer yang hadir dalam perundingan itu. 

Tahun 1950-1954, beliau menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang RI. [1] 


Setelah mengakhiri karier di bidang militer pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, T. B. Simatupang terlibat dalam pelayanan gereja di tingkat nasional maupun internasional. 

Ensiklopedia Tokoh Indonesia menulis: 

Usai membuktikan keteguhan prinsipnya di bidang kemiliteran dengan cara mundur, [Jendral (Purn)] Simatupang lantas menunjukkan keteguhan hati yang lain yakni kekuatan iman. Ia mengabdikan diri di lembaga Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI, sekarang PGI atau Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia). Di DGI penganut agama Kristen dengan tradisi Gereja Lutheran yang saleh sekaligus pemegang kuat adat Batak ini mengimani mungkin akan bisa memberikan sumbangan yang kecil dalam pengembangan landasan-landasan etik teologi bagi tanggungjawab Kristen di suatu masa. [2]

Selain berperan di DGI (PGI), suami dari ibu Sumarti Budiarjo ini turut pula melayani dalam wadah Dewan Gereja-gereja Asia dan Dewan Gereja-gereja se-Dunia. 

T. B. Simatupang adalah seorang jenderal dan teolog berjiwa nasionalis. Pemikiran-pemikirannya tentang Pancasila menyediakan pijakan bagi etika berbangsa, bernegara dan bergereja, dalam konteks Indonesia yang beraneka-ragam.

Menurut sang Jendral, “The five principles are a wide enough umbrella for everybody. Nobody has anything against them; people can accept them; we can all live together under them” [3] (Kelima prinsip itu adalah payung yang cukup besar [untuk menaungi] semua. Tidak ada yang punya dasar untuk menentangnya; masyarakat bisa menerimanya; kita semua bisa hidup bersama di bawahnya).

Pemikiran-pemikirannya tentang iman Kristen dan Pancasila dituangkan dalam sejumlah buku. Di antaranya: Iman Kristen dan Pancasila (BPK Gunung Mulia, 1984) dan Kehadiran Kristen Dalam Perang, Revolusi dan Pembangunan: Berjuang Mengamalkan Pancasila Dalam Terang Iman (BPK Gunung Mulia, 1986). 

T. B. Simatupang, Lambertus Nicodemus Palar dan KRT Radjiman Wediodiningrat, ketiga tokoh kebanggaan putra-putri bangsa, serta para pahlawan Indonesia lainnya, berjuang untuk sebuah kemerdekaan. Namun, lebih daripada sebuah kemerdekaan atas penjajahan, mereka berjuang untuk sebuah cita-cita persatuan dan perdamaian yang berkeadilan sosial. []




------
[1] Tiga Tokoh Ini Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
http://us.nasional.news.viva.co.id/news/read/457169-tiga-tokoh-ini-dianugerahi-gelar-pahlawan-nasional
[2] Sang Jenderal yang Berutang
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/291-sang-jenderal-yang-berutang

[3] T. B. Simatupang, “This is My Country,” International Review of Missions, LXIII, 251 (July, 1974), 317 seperti dikutip dalam Eka Darmaputera, Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society: A Cultural and Ethical Analysis (Leiden: E.J. Brill, 1988), 178.


Foto: 108Jakarta.com 

1 komentar:

  1. Penghargaan atas jasa-jasa mereka ada dalam mewujudkan cita2 luhur yg mrk prjuangkan.

    BalasHapus