Tokoh-tokoh dan pemimpin agama Kristen dan Muslim pada konferensi yang membahas situasi umat Kristen di negara-negara Arab (foto: Xinhua/Mohammad Abu Ghosh) |
YORDANIA, Amman (MP) – Sebuah pernyataan dari Patriakat
Antiokia dan Seluruh Wilayah Timur Gereja Ortodoks Yunani mengenai
situasi di Suriah dan wilayah Timur Tengah di antaranya menolak
penyebutan umat Kristen sebagai “agama minoritas.”
“Kami tidak melihat diri kami sebagai
agama minoritas dan tidak mau ada orang yang melihat kami demikan,
melainkan dari sudut pandang tanggung jawab nasional dan
kewarganegaraan penuh,” demikian diungkapkan dalam pernyataan itu.
Pernyataan bertanggal 30 Agustus 2013 itu turut menolak
penyelesaian militer atas situasi di Suriah, dan menggarisbawahi
bawahi solusi politik dan solusi damai lewat dialog.
Menyikapi konflik di Suriah itu,
Patriakat Antiokia menyatakan bahwa “Gereja berakar di tanah ini
dan kami bersikukuh dalam prinsip-prinsip tertentu mengenai
keterlibatannya dalam urusan-urusan kemasyarakatan.”
Surat itu turut menyesalkan keberadaan dua pimpinan
Gereja Ortodoks Suriah dan Yunani yang sejak April lalu diculik di
wilayah yang dikuasai pemberontak.
"Kami mendengar masyarakat internasional ini sering berlagak menangisi orang-orang Kristen di Timur dan menunjukan rasa sedih untuk apa yang ia sebut situasi buruk mereka [orang-orang Kristen]. Akan tetapi, kami tidak membutuhkan penghiburan ini karena nasib kami di negeri-negeri kami adalah sama dengan saudara-saudara sebangsa kami, yang telah lama hidup bersama-sama dalam kasih dan harmoni."
Pernyataan lengkap Patriakat Antiokia dapat dilihat di situs spc.rs.
Tantangan umat Kristen di negara-negara Arab
Penolakan umat Kristen di negara-negara
Arab terhadap perspektif “minoritas” ini turut disuarakan oleh
Sekjen DGD, Pdt. Dr. Olav Fykse Tveit dalam konferensi
“Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi Umat Kristen Arab.”
(Oikoumene.org)
Umat Kristen di negara-negara Arab
“ingin memahami diri mereka sebagai warga negara penuh
negara-negara mereka, dengan semua tanggung jawab yang mengikutinya,
dalam hal tugas, hak penuh dan tanggung jawab,” ungkapnya.
Konferensi yang dilaksanakan 3-4
September 2013 di Amman, Yordania, atas prakarsa Raja Abdullah II dan
penasehat utama urusan agama dan budaya Yordania, Pangeran Ghazi bin
Muhammad, ini menghadirkan tokoh-tokoh Kristen dan Muslim.
Dalam sambutannya, Pangeran Ghazi
mengungkapkan keprihatinannya bahwa “Masyarakat Kristen Arab tidak
hanya menderita karena hasutan yang buta dan tuli, [penderitaan] yang
juga di alami oleh semua [warga] di negara-negara Arab tertentu sejak
dimulainya apa yang secara keliru disebut Arab Spring. Tapi juga
menderita semata-mata karena mereka adalah umat Kristen.”
“Kami menolak secara tegas dan
menyeluruh hal demikian ini. Kami menolaknya seturut dengan hukum
suci kami, sebagai Muslim di hadapan Allah. Kedua, kami menolaknya
secara moral, sebagai [sesama] masyarakat Arab dan saudara sesuku.
Ketiga, kami menolaknya secara emosi, sebagai tetangga sesama manusia dan teman
terkasih.”
Menurut Pdt. Tveit, umat Kristen di Arab memiliki sejarah panjang hidup dalam masyarakat plural yang menghormati kemajemukan, dengan memahami bahwa semua orang diciptakan Tuhan sederajat. +
Tidak ada komentar:
Posting Komentar