Senin, 09 September 2013

Umat Kristen di negara-negara Arab: Kami bukan minoritas

Tokoh-tokoh dan pemimpin agama Kristen dan Muslim pada konferensi yang membahas situasi umat Kristen di negara-negara Arab (foto: Xinhua/Mohammad Abu Ghosh)

YORDANIA, Amman (MP) – Sebuah pernyataan dari Patriakat Antiokia dan Seluruh Wilayah Timur Gereja Ortodoks Yunani mengenai situasi di Suriah dan wilayah Timur Tengah di antaranya menolak penyebutan umat Kristen sebagai “agama minoritas.”

“Kami tidak melihat diri kami sebagai agama minoritas dan tidak mau ada orang yang melihat kami demikan, melainkan dari sudut pandang tanggung jawab nasional dan kewarganegaraan penuh,” demikian diungkapkan dalam pernyataan itu.

Pernyataan bertanggal 30 Agustus 2013 itu turut menolak penyelesaian militer atas situasi di Suriah, dan menggarisbawahi bawahi solusi politik dan solusi damai lewat dialog.

Menyikapi konflik di Suriah itu, Patriakat Antiokia menyatakan bahwa “Gereja berakar di tanah ini dan kami bersikukuh dalam prinsip-prinsip tertentu mengenai keterlibatannya dalam urusan-urusan kemasyarakatan.”


"Kami mendengar masyarakat internasional ini sering berlagak menangisi orang-orang Kristen di Timur dan menunjukan rasa sedih untuk apa yang ia sebut situasi buruk mereka [orang-orang Kristen]. Akan tetapi, kami tidak membutuhkan penghiburan ini karena nasib kami di negeri-negeri kami adalah sama dengan saudara-saudara sebangsa kami, yang telah lama hidup bersama-sama dalam kasih dan harmoni."

Pernyataan lengkap Patriakat Antiokia dapat dilihat di situs spc.rs.


Tantangan umat Kristen di negara-negara Arab

Penolakan umat Kristen di negara-negara Arab terhadap perspektif “minoritas” ini turut disuarakan oleh Sekjen DGD, Pdt. Dr. Olav Fykse Tveit dalam konferensi “Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi Umat Kristen Arab.” (Oikoumene.org)

Umat Kristen di negara-negara Arab “ingin memahami diri mereka sebagai warga negara penuh negara-negara mereka, dengan semua tanggung jawab yang mengikutinya, dalam hal tugas, hak penuh dan tanggung jawab,” ungkapnya.

Konferensi yang dilaksanakan 3-4 September 2013 di Amman, Yordania, atas prakarsa Raja Abdullah II dan penasehat utama urusan agama dan budaya Yordania, Pangeran Ghazi bin Muhammad, ini menghadirkan tokoh-tokoh Kristen dan Muslim.

Dalam sambutannya, Pangeran Ghazi mengungkapkan keprihatinannya bahwa “Masyarakat Kristen Arab tidak hanya menderita karena hasutan yang buta dan tuli, [penderitaan] yang juga di alami oleh semua [warga] di negara-negara Arab tertentu sejak dimulainya apa yang secara keliru disebut Arab Spring. Tapi juga menderita semata-mata karena mereka adalah umat Kristen.”

“Kami menolak secara tegas dan menyeluruh hal demikian ini. Kami menolaknya seturut dengan hukum suci kami, sebagai Muslim di hadapan Allah. Kedua, kami menolaknya secara moral, sebagai [sesama] masyarakat Arab dan saudara sesuku. Ketiga, kami menolaknya secara emosi, sebagai tetangga sesama manusia dan teman terkasih.”

Menurut Pdt. Tveit, umat Kristen di Arab memiliki sejarah panjang hidup dalam masyarakat plural yang menghormati kemajemukan, dengan memahami bahwa semua orang diciptakan Tuhan sederajat. +

Tidak ada komentar:

Posting Komentar