MP – Sejumlah
media Kristen mengkritik pemberitaan luas tentang pernyataan Paus
Fransiskus mengenai homoseksualitas yang menempatkan seolah-olah ia
mengambil posisi yang lebih lunak dibanding pendahulunya Paus
Emiritus Benediktus XVI.
“Siapa
saya untuk menghakimi mereka?” ungkap Paus Fransiskus menanggapi pertanyaan wartawan di pesawat (29 Juli 2013), setelah iven World Youth Day (festival
pemuda sedunia Gereja Katolik) di Copacabana, Rio de Janeiro, Brazil.
Ungkapan
kerendahan hati ini pun dikutip di berbagai media massa, mengarahkan
bahwa posisi pemimpin dari 1, 2 miliar anggota Gereja Roma Katolik
ini “sangat
berbeda
dengan sikap yang dilontarkan pendahulunya terkait isu yang sama”
(BBC, huruf tebal redaksi).
Pengiringan
opini itu dianggap keliru oleh sejumlah media massa berplatform
Kristen.
Ekspresi kasih yang benar
Paus Fransiskus (foto: Filippo Monteforte/AFP) |
LifeSitesNews.com
(LSN), media berita nirlaba Gereja Katolik, menilai berbagai
pemberitaan media mengenai pernyataan Paus adalah misleading
“menyesatkan.” ChristianPost.com menyebutnya sebagai misrepresentation (penggambaran yang keliru).
LSN
menyediakan konteks pernyataan Paus Fransiskus tersebut, termasuk
ajaran (katekisasi) Gereja Katolik menyangkut praktek hubungan
sejenis yang dinilai sebagai “acts
of grave depravity”
(tindak kebejatan yang berat).
Kecenderungan
pada ketertarikan sesama jenis juga dikategorikan sebagai “disorder“
(kelainan) dan “trial”
(godaan)
bagi mereka yang mengalaminya.
Pernyataan
dan sikap Paus Fransiskus yang menunjukkan kasih kepada mereka yang
mengalami ketertarikan sesama jenis ditempatkan dalam ajaran
katekisasi bahwa mereka “harus diterima dengan rasa hormat, belas
kasih, dan kepekaan. Setiap pertanda diskriminasi yang tak adil
terhadap mereka harus dihindari.”
Ekspresi
kasih tersebut tidak
dimaksudkan bahwa Gereja Katolik “okay” dengan imam yang
mempraktekan homoseksualitas, hal pertama karena imam dalam Gereja
Katolik mengambil sumpah selibat. Tidak pula dengan hasrat dan
praktek hubungan sejenis secara keseluruhan.
Gereja Katolik berusaha menanggapi kenyataan hidup akibat dosa ini dengan pendekatan yang injili.
Dalam
wawancara di pesawat tersebut Paus Fransiskus membedakan antara seorang yang
mempunyai ketertarikan sesama jenis dengan yang berusaha mempengaruhi
kebijakan untuk meluaskan praktek hubungan sejenis (yang disebut "lobi gay").
“Jika
mereka (orang yang mempunyai ketertarikan sesama jenis) menerima
Tuhan dan memiliki itikad baik, siapa saya untuk menghakimi mereka?
Mereka tidak boleh dipinggirkan. Masalahnya bukan pada kecenderungan
ke arah ketertarikan pada sesama jenis...mereka adalah
saudara-saudara kita,” ungkap Paus.
Yang
menjadi masalah menurut pemimpin umat Katolik ini adalah berbagai
upaya menyangkut “lobi gay.”
“Yang
merupakan masalah adalah upaya lobi dari orientasi ini, atau lobi
dari orang-orang yang serakah, lobi politik, lobi Masonik, dan banyak
lagi lobi lainnya. Ini yang merupakan masalah yang parah,” tuturnya.
Allah adalah kasih
Mantan Uskup Agung Gereja Anglikan Cape Town, Afrika Selatan (foto: CP). |
Menyangkut
isu yang sama. Mantan uskup agung Gereja Anglikan dari Afrika
Selatan, Desmond Tutu, membuat sebuah pernyataan kontroversial.
“Saya
tidak mau menyembah Allah yang homofobik,” ungkap pemenang Nobel
perdamaian ini berbicara di sebuah acara peluncuran kampanye global
PBB bidang hak asasi manusia di Cape Town, Afrika Selatan (26 Juli 2013). Kegiatan ini untuk mempromosikan persamaan hak dan
toleransi terhadap mereka yang mempunyai ketertarikan terhadap sesama
jenis, bi-seksual, termasuk transgender.
Istilah
“homofobik” yang digunakan pemenang Nobel perdamaian ini cukup
bermasalah.
Associated
Press telah melarang wartawannya menggunakan istilah ini dalam
konteks sosial dan politik.
“-fobia”
didefinisikan sebagai “rasa takut yang irasional, tak
terkendalikan, seringkali dalam bentuk penyakit mental,” demikian ditulis dalam Style Book AP.
Istilah
“homofobia” sudah melenceng, karena mengandung maksud bahwa
seseorang itu “menyandang cacat mental, dan menyarankan suatu
pengetahuan yang kita tak punya,” demikian penjelasan Dave
Minthorn, wakil editor standard AP, kepada Politico setahun yang lalu.
Dari
definisi itu, logika tentang “Allah yang homofobik” menjadi sulit
dibayangkan.
Allah
tidak memiliki kelainan mental. Allah adalah kasih, dan di dalam kasih tidak ada ketakutan.
Kekeliruan pernyataan penerima Nobel Tutu itu mendapat kecaman dari
komunitasnya.
Uskup Agung Dr. Daniel Yinkah Sarfo dari Gereja Anglikan Ghana, di
antaranya menyebut bahwa para uskup Anglikan di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin mengutuk pernyataan itu. (ChristianNewsWire.com)
"Deklarasi Tutu menuntut supaya Allah bekerja menurut kemauannya," ungkap Uskup Agung Sarfo.
Uskup Agung Gereja Anglikan Ghana Dr. Daniel Yinka Sarfo (foto: idio.net). |
Kita jangan keliru
Jadi
siapa yang keliru, Paus Fransiskus atau mantan uskup agung Tutu?
Penting
untuk membedakan yang tampak benar namun keliru dan yang diberitakan
secara keliru, namun memiliki kebenaran.
Memahami
Allah lewat pemahaman yang setia mengenai Alkitab akan menghindarkan umat Kristen dari kekeliruan yang berbahaya. Dalam
kasih tidak ada ketakutan.(+)
Fb "like" utk entri ini entah mengapa tidak berfungsi dgn semestinya. Semua "like" dari pembaca telah hilang secara misterius. Kalau ada yg tahu mengapa mohon berbagi informasi. Trims.
BalasHapus