Senin, 12 Agustus 2013

Siapa yang keliru, Paus Fransiskus atau mantan Uskup Agung Desmond Tutu?

MP – Sejumlah media Kristen mengkritik pemberitaan luas tentang pernyataan Paus Fransiskus mengenai homoseksualitas yang menempatkan seolah-olah ia mengambil posisi yang lebih lunak dibanding pendahulunya Paus Emiritus Benediktus XVI.

“Siapa saya untuk menghakimi mereka?” ungkap Paus Fransiskus menanggapi pertanyaan wartawan di pesawat (29 Juli 2013), setelah iven World Youth Day (festival pemuda sedunia Gereja Katolik) di Copacabana, Rio de Janeiro, Brazil.

Ungkapan kerendahan hati ini pun dikutip di berbagai media massa, mengarahkan bahwa posisi pemimpin dari 1, 2 miliar anggota Gereja Roma Katolik ini “sangat berbeda dengan sikap yang dilontarkan pendahulunya terkait isu yang sama” (BBC, huruf tebal redaksi).

Pengiringan opini itu dianggap keliru oleh sejumlah media massa berplatform Kristen.


Ekspresi kasih yang benar

Paus Fransiskus (foto: Filippo Monteforte/AFP)
LifeSitesNews.com (LSN), media berita nirlaba Gereja Katolik, menilai berbagai pemberitaan media mengenai pernyataan Paus adalah misleading “menyesatkan.” ChristianPost.com menyebutnya sebagai misrepresentation (penggambaran yang keliru). 

LSN menyediakan konteks pernyataan Paus Fransiskus tersebut, termasuk ajaran (katekisasi) Gereja Katolik menyangkut praktek hubungan sejenis yang dinilai sebagai “acts of grave depravity” (tindak kebejatan yang berat).

Kecenderungan pada ketertarikan sesama jenis juga dikategorikan sebagai “disorder“ (kelainan) dan “trial (godaan) bagi mereka yang mengalaminya.

Pernyataan dan sikap Paus Fransiskus yang menunjukkan kasih kepada mereka yang mengalami ketertarikan sesama jenis ditempatkan dalam ajaran katekisasi bahwa mereka “harus diterima dengan rasa hormat, belas kasih, dan kepekaan. Setiap pertanda diskriminasi yang tak adil terhadap mereka harus dihindari.”

Ekspresi kasih tersebut tidak dimaksudkan bahwa Gereja Katolik “okay” dengan imam yang mempraktekan homoseksualitas, hal pertama karena imam dalam Gereja Katolik mengambil sumpah selibat. Tidak pula dengan hasrat dan praktek hubungan sejenis secara keseluruhan. 

Gereja Katolik berusaha menanggapi kenyataan hidup akibat dosa ini dengan pendekatan yang injili. 

Dalam wawancara di pesawat tersebut Paus Fransiskus membedakan antara seorang yang mempunyai ketertarikan sesama jenis dengan yang berusaha mempengaruhi kebijakan untuk meluaskan praktek hubungan sejenis (yang disebut "lobi gay").

“Jika mereka (orang yang mempunyai ketertarikan sesama jenis) menerima Tuhan dan memiliki itikad baik, siapa saya untuk menghakimi mereka? Mereka tidak boleh dipinggirkan. Masalahnya bukan pada kecenderungan ke arah ketertarikan pada sesama jenis...mereka adalah saudara-saudara kita,” ungkap Paus.

Yang menjadi masalah menurut pemimpin umat Katolik ini adalah berbagai upaya menyangkut “lobi gay.”

“Yang merupakan masalah adalah upaya lobi dari orientasi ini, atau lobi dari orang-orang yang serakah, lobi politik, lobi Masonik, dan banyak lagi lobi lainnya. Ini yang merupakan masalah yang parah,” tuturnya. 


Allah adalah kasih

Mantan Uskup Agung Gereja Anglikan
Cape Town, Afrika Selatan (foto: CP).

Menyangkut isu yang sama. Mantan uskup agung Gereja Anglikan dari Afrika Selatan, Desmond Tutu, membuat sebuah pernyataan kontroversial.

“Saya tidak mau menyembah Allah yang homofobik,” ungkap pemenang Nobel perdamaian ini berbicara di sebuah acara peluncuran kampanye global PBB bidang hak asasi manusia di Cape Town, Afrika Selatan  (26 Juli 2013). Kegiatan ini untuk mempromosikan persamaan hak dan toleransi terhadap mereka yang mempunyai ketertarikan terhadap sesama jenis, bi-seksual, termasuk transgender.

Istilah “homofobik” yang digunakan pemenang Nobel perdamaian ini cukup bermasalah.

Associated Press telah melarang wartawannya menggunakan istilah ini dalam konteks sosial dan politik.

“-fobia” didefinisikan sebagai “rasa takut yang irasional, tak terkendalikan, seringkali dalam bentuk penyakit mental,” demikian ditulis dalam Style Book AP

Istilah “homofobia” sudah melenceng, karena mengandung maksud bahwa seseorang itu “menyandang cacat mental, dan menyarankan suatu pengetahuan yang kita tak punya,” demikian penjelasan Dave Minthorn, wakil editor standard AP, kepada Politico setahun yang lalu.

Dari definisi itu, logika tentang “Allah yang homofobik” menjadi sulit dibayangkan.

Allah tidak memiliki kelainan mental. Allah adalah kasih, dan di dalam kasih tidak ada ketakutan. 

Kekeliruan pernyataan penerima Nobel Tutu itu mendapat kecaman dari komunitasnya. 

Uskup Agung Dr. Daniel Yinkah Sarfo dari Gereja Anglikan Ghana, di antaranya menyebut bahwa para uskup Anglikan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin mengutuk pernyataan itu. (ChristianNewsWire.com)

"Deklarasi Tutu menuntut supaya Allah bekerja menurut kemauannya," ungkap Uskup Agung Sarfo. 

Uskup Agung Gereja Anglikan Ghana
Dr. Daniel Yinka Sarfo (foto: idio.net).


Kita jangan keliru

Jadi siapa yang keliru, Paus Fransiskus atau mantan uskup agung Tutu?

Penting untuk membedakan yang tampak benar namun keliru dan yang diberitakan secara keliru, namun memiliki kebenaran.

Memahami Allah lewat pemahaman yang setia mengenai Alkitab akan menghindarkan umat Kristen dari kekeliruan yang berbahaya. Dalam kasih tidak ada ketakutan.(+)

1 komentar:

  1. Fb "like" utk entri ini entah mengapa tidak berfungsi dgn semestinya. Semua "like" dari pembaca telah hilang secara misterius. Kalau ada yg tahu mengapa mohon berbagi informasi. Trims.

    BalasHapus