MP – Di sejumlah group facebook berplatform
Kristen tampak sejumlah "posting-keprihatinan," bahkan kecaman, mengenai
upaya “penghijauan” – istilah yang menunjuk pada 'peng-Islaman' daerah tertentu.
Sementara di group yang berplatform
Islam, kita dapat menemui ungkapan yang sama tentang “kristenisasi”
atau upaya 'peng-Kristenan' umat Islam (non-Islam).
Kedua istilah ini: “penghijauan”
dan “kristenisasi,” serta ide yang terkandung di dalamnya,
bukan hal yang baru. Keduanya lahir dan merupakan kelanjutan dari
sejarah panjang tragedi kemanusiaan yang mengatas-namakan agama. Di
balik itu adalah kepentingan politik, ekonomi, yang mencakup
keserakahan, rasa superioritas, dan ketidak-sanggupan untuk
mengendalikan diri.
Entah apa yang terus memberi kelanjutan
terhadap istilah-istilah seperti ini di tengah komunitas beragama saat ini.
Padahal, penggunaan kedua istilah ini
menyinggung perasaan umat beragama secara umum, terlebih khusus bagi
kedua belah pihak, ketika muncul tudingan bahwa pihak yang satu
sedang MEMAKSAKAN agamanya kepada pihak yang lain.
Dapat dimengerti bahwa kedua istilah
itu menyinggung perasaan, karena pengikut agama yang tulus tidak akan
memaksa (mengancam) orang lain untuk percaya apa yang ia percaya.
Idenya juga bertentangan dengan akal sehat: seseorang tidak bisa
dipaksa untuk mempercayai sesuatu yang tidak ia percaya.
Di samping itu, kedua istilah ini
menyarankan bahwa para pemeluk agama tidak memiliki otonomi untuk
menentukan apa yang mereka percaya/imani.
Kekritisan, kehati-hatian
(kepekaan), dan rasa kemanusiaan
Karena itu, munculnya istilah-istilah
di atas harus disikapi dengan kekritisan dan kehati-hatian
(kepekaan). Ada orang yang menyebarkan “posting-keprihatinan”
karena memang prihatin, namun TIDAK disertai dengan kekritisan dan
kehati-hatian.
Namun, ada pula yang menyebarkan
“posting-keprihatinan” karena suatu niat yang tak tulus, tak
jujur; dengan maksud untuk menciptakan antipati (permusuhan) antara
para pemeluk agama, supaya ketika ketegangan telah meningkat, jika
sewaktu-waktu diperlukan, telah siap sebuah “bom kemanusiaan”
yang dapat dipicu dengan sebuah tindakan pemerkosaan atau
pembakaran/pemboman sebuah rumah ibadah.
“Senjata” seperti sudah sering
dipakai oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, yang
menghalalkan segala cara untuk mengamankan posisinya, memaksakan
pengaruhnya, dan terutama mengamankan akses ke berbagai sumber daya
untuk bisa hidup di atas penderitaan orang lain.
Jikalau yang disebut agama paling tidak
membukakan mata manusia, maka masyarakat beragama perlu
mengembangkan rasa percaya antara satu dengan yang lain, bukan karena
agama, melainkan karena kemanusiaan yang kita semua miliki.
Kemanusiaan manusia tidak bisa diukur
dari agama, etnik, pilihan politik, atau cara tertawa seseorang.
Manusia itu menjadi manusia karena
HATINYA diisi dengan rasa kemanusiaan.
Pelajaran dari Mesir dan Indonesia
Sekarang ini sulit membayangkan bahwa
pemerintah Mesir yang dibentuk setelah kudeta militer beberapa waktu
yang lalu memiliki hati yang diisi dengan rasa kemanusiaan.
Associated Press (AP) yang
dikutip Kompas.com
menyebutkan 638 korban tewas dan sekitar 4000 lainnya luka-luka pada
Rabu Berdarah (14 Agustus) ketika “pemerintah” tersebut
membubarkan para demonstran. Dari pihak lain, Ikhwanul Muslimin [Muslim Brotherhood] mengatakan, korban tewas sesungguhnya diperkirakan mencapai 2.600
orang dan korban luka mencapai 10.000-an orang.
Mereka ini dibahasakan oleh sejumlah
media sebagai pro-Mursi, pro-Muslim Brotherhood, atau pro-Islamis.
Hanya saja seorang demonstran yang diwawancarai
BBC menolak bahwa aksi mereka adalah demi Presiden Mursi, atau
apapun, melainkan demi demokrasi dan martabat negeri mereka, Mesir.
Mereka dan rakyat Mesir secara keseluruhan adalah korban dari sebuah upaya manuver politik, yang bukan
rahasia memuat begitu banyak kepentingan luar.
Kepentingan itu, apakah baik atau tidak
bagi rakyat Mesir, adalah masalah tersendiri. Akan tetapi, suatu tindakan
keamanan (baca: militer), mengatas namakan suara rakyat sekalipun,
yang membunuhi rakyat, baik perempuan maupun laki-laki, jelas
melanggar kesakralan sebuah demokrasi dan nilai kemanusiaan.
Hati siapa yang takkan tergerak melihat
foto para korban. Mereka adalah ayah, ibu, saudara laki-laki dan
saudara perempuan. Mereka adalah rakyat yang menuntut sebuah
konsistensi demokrasi, bagaimanapun itu.
Kita tidak mau dituduh mempunyai
standar ganda dalam berdemokrasi, bukan?
Retorika penyelamatan Mesir dari "Islam radikal" tak lagi menjual. Mengapa di Suriah kebijakan yang muncul justru mempersenjatai gerakan yang tampak jelas memang radikal?
Siapa yang lebih radikal dalam
situasi ini telah nampak jelas. Ini adalah radikalisme yang mengkudeta demokrasi dan membantai rakyat dengan menggunakan
alat keamanan negara.
Mungkin nanti ada narasi pembenaran
terhadap penolakan terhadap Muslim Brotherhood, sama seperti kita di
Indonesia punya narasi yang melegitimasi pembubaran PKI. Sayang kita
sering dibuat lupa bahwa penolakan ideologi tak sama dengan
pembantaian rakyat. Ada yang menyebut jumlah 300.000 sampai satu juta
orang yang dibunuh secara keji pada tahun 65, dan kenyataannya kita
masih hidup dalam kemiskinan hampir setengah abad kemudian.
Sendi-sendi perekonomian masih dikuasai oleh pihak asing, dan kroni-kroni koruptornya.
Sendi-sendi perekonomian masih dikuasai oleh pihak asing, dan kroni-kroni koruptornya.
Kita juga dibiarkan tak mengerti
tentang semua kepentingan politik dan ekonomi di balik pergolakan
politik semacam ini, dan untuk kasus Mesir, jika rakyat dan
pemerintah gagal memperoleh solusi, mungkin tak hanya setengah abad
kemudian rakyatnya masih akan tetap miskin, tapi juga Mesir akan
porak-poranda dalam sebuah perang saudara.
Sampai sekarang agama masih
dieksploitasi untuk kepentingan politik busuk. Tak dapat disangkal
politisasi agama pun telah dimasukan ke dalam sejarah revolusi dan
restorasi Mesir.
Mungkin Paus Tawardos II, pemimpin
Gereja Ortodoks Koptik, berniat baik dengan hadir pada pengumuman
Jenderal Sisi bahwa Presiden Mursi telah diturunkan, tapi tindakan
itu nampak kurang bijak.
Sekarang kita bertanya, berapa banyak
di antara “pendukung demokrasi” yang menyadari bahwa politisasi
kelompok etnis Koptik dan Gereja Ortodoks Koptik tidak ada
hubungannya dengan jemaat-jemaat Kristen Mesir yang ingin memiliki
kebebasan beribadah, berdampingan dengan saudara-saudara Muslim
mereka.
Siapa yang tahu? Yang kita tahu adalah
mereka yang membakar gereja atau membunuhi orang Kristen itu melakukannya bukan
karena agamanya, melainkan karena terang hatinya telah tertutup kabut amarah atau yang hatinya belum diisi dengan nilai
kemanusiaan.
Perdana Menteri Turki Tayyib Erdogan
punya poin yang penting, “Mereka yang tinggal diam menghadapi
pembantaian ini sama bersalahnya dengan mereka yang melakukan
(pembantaian) ini.” (Kompas.com)
Kalau ingin melakukan sesuatu, kita bisa mengikuti
Paus Fransiskus. “Saya ingin memastikan doa saya untuk semua korban
dan keluarga mereka, yang terluka dan semua orang yang menderita.
Mari kita berdoa bersama untuk perdamaian, dialog dan rekonsiliasi di
tengah bangsa ini dan seluruh dunia,” demikian sebagian isi doanya
mengikuti tragedi pembantaian di Mesir. (News.va)
Dalam doa dan tindakan kita bisa
melawan kata-kata yang mengundang permusuhan antar agama, kebencian antar sesama manusia,
termasuk pembantaian rakyat dan penghancuran rumah ibadah seperti yang terjadi di Mesir. (+)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar