Sabtu, 17 Agustus 2013

Melawan “penghijauan” dan “kristenisasi,” termasuk pembantaian dan perusakan seperti di Mesir

Seorang pria bersedih saat ia melihat salah satu dari banyak jenazah korban penyerbuan kamp pendukung Presiden Mesir terguling Muhammad Mursi di Alun-alun Rabaa al-Adawiya, oleh pasukan keamanan Mesir, di Kairo, 14 Agustus 2013 (AFP PHOTO / MOSAAB EL-SHAMY via Kompas.com)
MP – Di sejumlah group facebook berplatform Kristen tampak sejumlah "posting-keprihatinan," bahkan kecaman, mengenai upaya “penghijauan” – istilah yang menunjuk pada 'peng-Islaman' daerah tertentu.

Sementara di group yang berplatform Islam, kita dapat menemui ungkapan yang sama tentang “kristenisasi” atau upaya 'peng-Kristenan' umat Islam (non-Islam).

Kedua istilah ini: “penghijauan” dan “kristenisasi,” serta ide yang terkandung di dalamnya, bukan hal yang baru. Keduanya lahir dan merupakan kelanjutan dari sejarah panjang tragedi kemanusiaan yang mengatas-namakan agama. Di balik itu adalah kepentingan politik, ekonomi, yang mencakup keserakahan, rasa superioritas, dan ketidak-sanggupan untuk mengendalikan diri.

Entah apa yang terus memberi kelanjutan terhadap istilah-istilah seperti ini di tengah komunitas beragama saat ini.

Padahal, penggunaan kedua istilah ini menyinggung perasaan umat beragama secara umum, terlebih khusus bagi kedua belah pihak, ketika muncul tudingan bahwa pihak yang satu sedang MEMAKSAKAN agamanya kepada pihak yang lain.

Dapat dimengerti bahwa kedua istilah itu menyinggung perasaan, karena pengikut agama yang tulus tidak akan memaksa (mengancam) orang lain untuk percaya apa yang ia percaya. Idenya juga bertentangan dengan akal sehat: seseorang tidak bisa dipaksa untuk mempercayai sesuatu yang tidak ia percaya.

Di samping itu, kedua istilah ini menyarankan bahwa para pemeluk agama tidak memiliki otonomi untuk menentukan apa yang mereka percaya/imani.


Kekritisan, kehati-hatian (kepekaan), dan rasa kemanusiaan

Karena itu, munculnya istilah-istilah di atas harus disikapi dengan kekritisan dan kehati-hatian (kepekaan). Ada orang yang menyebarkan “posting-keprihatinan” karena memang prihatin, namun TIDAK disertai dengan kekritisan dan kehati-hatian.

Namun, ada pula yang menyebarkan “posting-keprihatinan” karena suatu niat yang tak tulus, tak jujur; dengan maksud untuk menciptakan antipati (permusuhan) antara para pemeluk agama, supaya ketika ketegangan telah meningkat, jika sewaktu-waktu diperlukan, telah siap sebuah “bom kemanusiaan” yang dapat dipicu dengan sebuah tindakan pemerkosaan atau pembakaran/pemboman sebuah rumah ibadah.

“Senjata” seperti sudah sering dipakai oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, yang menghalalkan segala cara untuk mengamankan posisinya, memaksakan pengaruhnya, dan terutama mengamankan akses ke berbagai sumber daya untuk bisa hidup di atas penderitaan orang lain.

Jikalau yang disebut agama paling tidak membukakan mata manusia, maka masyarakat beragama perlu mengembangkan rasa percaya antara satu dengan yang lain, bukan karena agama, melainkan karena kemanusiaan yang kita semua miliki.

Kemanusiaan manusia tidak bisa diukur dari agama, etnik, pilihan politik, atau cara tertawa seseorang.

Manusia itu menjadi manusia karena HATINYA diisi dengan rasa kemanusiaan.


Pelajaran dari Mesir dan Indonesia

Sekarang ini sulit membayangkan bahwa pemerintah Mesir yang dibentuk setelah kudeta militer beberapa waktu yang lalu memiliki hati yang diisi dengan rasa kemanusiaan.

Associated Press (AP) yang dikutip Kompas.com menyebutkan 638 korban tewas dan sekitar 4000 lainnya luka-luka pada Rabu Berdarah (14 Agustus) ketika “pemerintah” tersebut membubarkan para demonstran. Dari pihak lain, Ikhwanul Muslimin [Muslim Brotherhood] mengatakan, korban tewas sesungguhnya diperkirakan mencapai 2.600 orang dan korban luka mencapai 10.000-an orang.

Mereka ini dibahasakan oleh sejumlah media sebagai pro-Mursi, pro-Muslim Brotherhood, atau pro-Islamis. Hanya saja seorang demonstran yang diwawancarai BBC menolak bahwa aksi mereka adalah demi Presiden Mursi, atau apapun, melainkan demi demokrasi dan martabat negeri mereka, Mesir.

Mereka dan rakyat Mesir secara keseluruhan adalah korban dari sebuah upaya manuver politik, yang bukan rahasia memuat begitu banyak kepentingan luar.

Kepentingan itu, apakah baik atau tidak bagi rakyat Mesir, adalah masalah tersendiri. Akan tetapi, suatu tindakan keamanan (baca: militer), mengatas namakan suara rakyat sekalipun, yang membunuhi rakyat, baik perempuan maupun laki-laki, jelas melanggar kesakralan sebuah demokrasi dan nilai kemanusiaan.

Hati siapa yang takkan tergerak melihat foto para korban. Mereka adalah ayah, ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan. Mereka adalah rakyat yang menuntut sebuah konsistensi demokrasi, bagaimanapun itu.

Kita tidak mau dituduh mempunyai standar ganda dalam berdemokrasi, bukan?

Retorika penyelamatan Mesir dari "Islam radikal" tak lagi menjual. Mengapa di Suriah kebijakan yang muncul justru mempersenjatai gerakan yang tampak jelas memang radikal? 

Siapa yang lebih radikal dalam situasi ini telah nampak jelas. Ini adalah radikalisme yang mengkudeta demokrasi dan membantai rakyat dengan menggunakan alat keamanan negara.

Mungkin nanti ada narasi pembenaran terhadap penolakan terhadap Muslim Brotherhood, sama seperti kita di Indonesia punya narasi yang melegitimasi pembubaran PKI. Sayang kita sering dibuat lupa bahwa penolakan ideologi tak sama dengan pembantaian rakyat. Ada yang menyebut jumlah 300.000 sampai satu juta orang yang dibunuh secara keji pada tahun 65, dan kenyataannya kita masih hidup dalam kemiskinan hampir setengah abad kemudian.

Sendi-sendi perekonomian masih dikuasai oleh pihak asing, dan kroni-kroni koruptornya. 

Kita juga dibiarkan tak mengerti tentang semua kepentingan politik dan ekonomi di balik pergolakan politik semacam ini, dan untuk kasus Mesir, jika rakyat dan pemerintah gagal memperoleh solusi, mungkin tak hanya setengah abad kemudian rakyatnya masih akan tetap miskin, tapi juga Mesir akan porak-poranda dalam sebuah perang saudara.

Sampai sekarang agama masih dieksploitasi untuk kepentingan politik busuk. Tak dapat disangkal politisasi agama pun telah dimasukan ke dalam sejarah revolusi dan restorasi Mesir.

Mungkin Paus Tawardos II, pemimpin Gereja Ortodoks Koptik, berniat baik dengan hadir pada pengumuman Jenderal Sisi bahwa Presiden Mursi telah diturunkan, tapi tindakan itu nampak kurang bijak.

Sekarang kita bertanya, berapa banyak di antara “pendukung demokrasi” yang menyadari bahwa politisasi kelompok etnis Koptik dan Gereja Ortodoks Koptik tidak ada hubungannya dengan jemaat-jemaat Kristen Mesir yang ingin memiliki kebebasan beribadah, berdampingan dengan saudara-saudara Muslim mereka.

Siapa yang tahu? Yang kita tahu adalah mereka yang membakar gereja atau membunuhi orang Kristen itu melakukannya bukan karena agamanya, melainkan karena terang hatinya telah tertutup kabut amarah atau yang hatinya belum diisi dengan nilai kemanusiaan.

Perdana Menteri Turki Tayyib Erdogan punya poin yang penting, “Mereka yang tinggal diam menghadapi pembantaian ini sama bersalahnya dengan mereka yang melakukan (pembantaian) ini.” (Kompas.com)

Kalau ingin melakukan sesuatu, kita bisa mengikuti Paus Fransiskus. “Saya ingin memastikan doa saya untuk semua korban dan keluarga mereka, yang terluka dan semua orang yang menderita. Mari kita berdoa bersama untuk perdamaian, dialog dan rekonsiliasi di tengah bangsa ini dan seluruh dunia,” demikian sebagian isi doanya mengikuti tragedi pembantaian di Mesir. (News.va)

Dalam doa dan tindakan kita bisa melawan kata-kata yang mengundang permusuhan antar agama, kebencian antar sesama manusia, termasuk pembantaian rakyat dan penghancuran rumah ibadah seperti yang terjadi di Mesir. (+)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar