Rabu, 08 Agustus 2012

Politik agama di Suriah mengundang malapetaka bagi umat Kristen

Suriah (foto: tribunnews)
Situasi di Suriah telah mendorong gelombang pengungsi ke negara-negara tetangga di Timur Tengah. Umat Kristen dan minoritas lainnya sedang menghadapi keadaan yang lebih sulit dibanding kesengsaraan masyarakat Suriah lainnya.

Perang di Suriah saat ini tak hanya antara pemerintah dan pihak oposisi, tapi juga menyangkut kekuasaan dari sudut geopolitik global. Suriah berbatasan langsung dengan Israel dan keduanya masih tegang berhubungan dengan dataran tinggi Golan yang diduduki Israel tahun 1967.

Baik Amerika Serikat (AS) dan gerakan politik Islam melihat kepentingan besar di Suriah.

Umat Kristen mengakui mempunyai tingkat kebebasan beragama yang relatif baik di bawah pemerintahaan Bashar al-Assad, dan tekanan dari kelompok pemberontak akan menyudutkan umat Kristen untuk memilih buah simalakama.

Jika benar bahwa masyarakat Kristen, yang dianggap sebagai pendukung pemerintah Assad, diancam dengan kekerasan apabila tidak memihak kelompok pemberontak, maka hal ini dapat berarti sebuah ketukan hukuman mati bagi Kekristenan di Suriah. Karena untuk memilih di antara keduanya, itu berarti menaruh umat Kristen pada posisi target. Tak ada yang dapat memastikan masa depan Kekristenan di negara di mana para pengikut Kristus untuk pertama kalinya disebut Kristen itu.

Sekarang ini AS dan gerakan politik Islam nampak berkolaborasi untuk menumbangkan pemerintah Assad, jika nasib berkehendak demikian, bagaimanakah bentuk negara Suriah setelah perang sipil ini? Apakah nantinya ada sequel (seri 2) di arena ini?

Sekarang ini bola masih berada di lapangan. Rusia dan Cina, dua negara adidaya, paling tidak sudah tiga kali memblok resolusi PBB untuk sangsi yang lebih berat bagi Suriah, termasuk tekanan militer. Iran yang sedang dalam posisi tegang dengan musuh bebuyutan Israel dan AS telah menyatakan mendukung Suriah.

Bagaimanakah kelanjutan sejarah Suriah, dan terlebih khusus umat Kristen di sana? Kita lihat saja nanti. Ini tentu saja adalah penantian dengan doa.

Sebuah refleksi. Jika saja politik yang menyangkut kekuasaan dan dominasi ini tidak melibatkan isu agama, setidaknya akan lebih kurang masyarakat sipil tak bersalah yang harus dikorbankan atas nama pencarian hubungannya dengan Tuhan. Sayang, politik dan agama, atau yang menjadikan politik sebagai agama, telah menjadi alat untuk menyabet kekuasaan dan dominasi.

Tidak ada kekuatan politik atau institusi agama yang dapat mencegah tragedi kemanusiaan seperti ini, tapi malapetaka demikian mungkin dapat dihindari jika setiap orang yang mencari Tuhan dan kebajikan menyatakan TIDAK pada politisasi agama untuk kekuasaan dan dominasi, dan hidup menghargai nilai-nilai kehidupan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar