Kamis, 09 Agustus 2012

Media Barat dan siapa sebenarnya rock band Pussy Riots

Katedral Kristus Juruselamat, Moskow
(foto: smashinghub)
RUSIA, Moskow (MP) -- Tiga orang anggota sebuah rock band dengan nama "Pussy Riots" saat ini sedang dalam proses peradilan karena kasus penodaan tempat beribadah Gereja Ortodoks Rusia, Katedral Kristus Juruselamat, di Moskow. Kelompok ini ditampilkan oleh kelompok elit dan media Barat sebagai tokoh hak asasi manusia.

Koran Guardian Inggris mengutip pendukung mereka yang membandingkan pemimpin band Nadezhda Tolokonnikova dengan Simone de Beauvoir, seorang sosiolog Prancis. 

Administrasi pemerintahan Obama mengatakan bahwa mereka "sangat prihatin" dengan apa yang mereka sebut "penganiayaan yang berlatar-belakang politik," sementara kelompok "hak asasi manusia" pro-aborsi Amnesty International mengklaim bahwa ketiganya adalah "tahanan hati nurani." Madonna Ciccone serta bintang pop dan selebriti lainnya di Amerika menggambarkan gadis-gadis ini sebagai "pahlawan" dan menuntut pembebasan mereka.

Hanya saja, sumber-sumber tersebut tidak memberikan pemberitaan yang sepenuhnya tentang apa yang dilakukan trio ini ketika mereka memasuki gereja yang paling dijunjung tinggi di Rusia itu. Dianggap bahwa mereka semata-mata melakukan protes politik terhadap pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Tiga wanita ini, masing-masing masih berusia dua puluhan, dituntut di pengadilan karena menyerobot ke ruang paling suci di Katedral itu, di tempat di mana terdapat altar dan hanya boleh dimasuki oleh para imam, dan melakukan tarian dengan kaki sampai terangkat tinggi, menyanyikan lagu yang sarat dengan sumpah serapah, dan bertingkah laku mengejek peribadahan Gereja Ortodoks.

Liputan media Barat biasanya hanya mengutip satu kalimat dari lagu yang dinyanyikan oleh trio ini, "Santa Maria, Sang Perawan, usir pergi Putin," untuk memberi kesan bahwa lagu ini tidak lebih dari protes terhadap pemimpin Rusia. Namun, terjemahan bahasa Inggris penuh dari lirik yang diperoleh oleh LifeSiteNews.com menunjukkan bahwa gadis-gadis ini tidak hanya punya pikiran politik.

Selain mengucapkan kata kotor dan mengolok-olok "jubah hitam, hiasan punggung emas" yang dipakai rohaniawan Ortodoks, mereka mengejek cara beribadah anggota jemaat yang "merangkak dan membungkuk" [dalam gereja Ortodoks pada hari raya tertentu di antara jemaat yang taat akan merangkak masuk ke bawah meja di mana terdapat kain dengan gambar Kristus sebagai simbol masuk ke dalam kematian bersama Kristus, Wikipedia], termasuk mencemooh posisi Gereja Ortodoks dalam mempertahankan moralitas publik, "roh kebebasan ada di surga, pawai homoseks dikirim ke Siberia dengan rantai."

Namun, demikian tidak semua moncong liberalisme senang dengan tindakan trio ini. Komentar mereka termasuk “Mereka seharusnya melepaskan [gadis-gadis] itu dengan tamparan di (maaf) pantat” (NY Times).

Dalam perayaan Hari Doa Nasional April lalu, di hadapan sekitar 40.000 penganut Kristen Ortodoks, pemimpin Gereja Ortodoks Rusia Patriakh Kirill mengungkapkan “Kita sedang diserang oleh para penganiaya. Bahayanya ada pada kenyataan bahwa penistaan, penodaan pada hal yang sakral sedang ditunjukkan sebagai ekspresi kebebasan yang diterima secara hukum dan yang harus dilindungi dalam masyarakat modern.” Ungkapannya ini dikaitkan dengan peristiwa 21 Februari itu.

Orang-orang yang berdiri di belakang Pussy Riots ingin supaya gereja menerima sistem nilai sekular[isme]. Gereja [Ortodoks] tidak akan pernah setuju dengan 'Reformasi sekuler' seperti ini,” ungkap Alexander Shchipkov, ketua asosiasi jurnalis Kristen Ortodoks, seperti dilansir Voice of Russia.

Dr. Igor Beloborodov, direktur Institut Penelitian Demografi Rusia mengatakan kepada LifeSiteNews lewat email bahwa "Pussy Riots" telah "berulang kali menghina perasaan orang-orang percaya" di Rusia, dan secara aktif terlibat dalam mempromosikan agenda anti-keluarga, anti-Kristen.

Beloborodov menulis bahwa tindakan Pussy Riots ini bukan semata-mata diarahkan untuk melawan Gereja Ortodoks dan pemeluknya, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas dengan gerakan revolusi seksual yang dinilai mereka tidak didukung oleh pemerintah Rusia.

"Mereka memilih gereja sebagai target serangan, karena imam-imam Ortodoks secara aktif mendukung konsep keluarga menurut tradisi dan mengatakan kebenaran tentang homoseksualitas," lanjutnya. "Jelas, dalam penyebaran 'budaya kematian' kelompok ini dan semua tindakan mereka adalah proyek sosial terencana untuk mendiskreditkan gereja dan menghancurkan keluarga.

Itu sebabnya hari ini lobi anti-Kristen berusaha keras untuk menampilkan grup ini sebagai 'martir'. Pada hal kita sedang berhadapan dengan 'teroris' anti-moral yang berjuang melawan masyarakat, gereja-gereja dan anak-anak kita,” tambahnya. 


LifeSiteNews | Christian Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar