Selasa, 07 Agustus 2012

Pawai homoseks di Yerusalem diprotes pemuda Yahudi

Protes berbagai elemen masyarakat termasuk pemuda
Yahudi terhadap pawai homoseks tahunan di Yerusalem.
Arak-arakan yang didominasi anak-anak muda mengiring tiga ekor keledai sebagai protes terhadap pawai homoseks yang kesepuluh di Yerusalem, kota suci umat Yahudi, Kristen, dan Islam. 

Menurut AFP beratus-ratus polisi dikerahkan untuk menjaga pawai yang berlangsung pada hari Kamis lalu itu (2/8), dan diperkirakan 3000 orang mengambil bagian di dalamnya.

Alasan mengapa dipilih Yerusalem sampai sejauh ini masih samar-samar. Komunitas agama di Yerusalem melihat bahwa Tel Aviv yang dinobatkan oleh sebuah maskapai penerbangan milik AS sebagai “kota yang paling ramah terhadap kaum homoseks di seluruh dunia” adalah tempat yang lebih tepat untuk penyelenggaraan pawai itu. 

Yerusalem tidak bisa menanggung kenajisan dan kekejian,” ungkap Baruch Marzel salah seorang penentang pawai itu. “Apa yang dilakukan oleh aliran kiri dan sesat ini di Yerusalem membahayakan seluruh penduduk Yerusalem, merusak kesucian Yerusalem, dan sebuah bahaya terhadap keberadaan bangsa dan tanah Israel,” ungkapnya seperti dilansir Israel National News

Sementara itu, Lynn Schusterman, seorang donatur dari AS, mengatakan dalam pidato pembukaan pawai itu, "Kita harus bekerja sama untuk mengokohkan Yerusalem sebagai ibukota modern, terbuka dan mendorong terbentuknya masyarakat yang ramah dan inklusif di seluruh dunia Yahudi," demikian dilaporkan Times of Israel

Tahun 2005 sebuah aksi kekerasan terjadi sebagai reaksi penolakan terhadap pawai itu, menyebabkan tiga orang terluka. Namun seperti yang ungkapkan Michael Oren, dutabesar Israel untuk Amerika: “Ketika pemimpin-pemimpin agama – Yahudi, Kristen dan Islam – bersama-sama menuntut penghentian pawai Gay Pride tahunan di Yerusalem, negara memastikan bahwa itu terlaksana.”

Sebuah artikel yang dimuat majalah TIME diberi judul “Hatred (of Gays) unites Jerusalem's feuding faiths” (Kebencian [terhadap kaum homoseks] mempersatukan agama-agama yang bertikai di Yerusalem). Penolakan masyarakat terhadap indoktrinasi homoseksualisme terus dikategorisasikan oleh moncong liberalisme sebagai tindakan kebencian, prasangka dan sebagainya. Namun masalah ini harus disikapi secara dewasa, seumpama anggapan seorang anak yang melihat orangtuanya membencinya karena melarangnya bermain pisau. 


Berita terkait: Pawai homoseks di Hanoi, Vietnam

Pencitraan negatif terhadap penentang indoktrinisasi praktek homoseks (yang bukan berarti membenci para homoseks) mulai lebih sering muncul di media-media Asia. 

“Untuk sebuah dunia tanpa diskriminasi seks” adalah tema pawai homoseks di Hanoi, Vietnam, hari Minggu kemarin (5/8). Kemasannya selain dibuat dengan tujuan memikat simpati kaum muda untuk melihatnya sebagai trend, juga mengundang negara-negara Asia untuk bersikap "terbuka" terhadap agenda homoseksualis militan.  

Masyarakat yang ingin menjauh dari sikap “mendiskriminasi” akan digiring untuk mengambil posisi “mendukung” perilaku homoseks sebagai hal yang 'normal'.

“Seks” dalam tema pawai di Vietnam itu bukan lagi berarti jenis kelamin, yaitu perempuan atau laki-laki, melainkan perilaku seksual. Jadi “dunia tanpa diskriminasi seks” maksudnya adalah dunia di mana ekspresi seksual itu dapat memperoleh kebebasan yang sebebas-bebasnya. Jika ini terwujud, pikirkan nasib anak-anak yang terus menjadi korban kegilaan nafsu orang-orang yang melihat anak-anak sebagai objek seks.

Sebuah artikel di situs LifeSiteNews diberi judul “Sex, sex, sex, sex, sex” sebuah gambaran tentang bagaimana dunia, tak hanya di Barat, yang sedang dimabukkan dengan anggur percabulan, lewat iklan, seni, pertunjukan, komik, majalah, buku, VCD/DVD, yang dapat ditemukan sampai ke pelosok desa. Semua ini tidak hanya mengeksploitasi tapi juga membelokkan konsep seksualitas yang adalah anugerah Allah dalam kehidupan manusia untuk nikmat sebuah keluarga – secara ideal diposisikan sebagai tempat di mana anak-anak dilahirkan dan dibesarkan.

Tantangan bagi generasi saat ini dengan perkembangan teknologi yang ada semakin besar. Para ahli telah menunjukkan bahwa pornografi dapat mengurangi intelegensia anak-anak, dan mempengaruhi secara negatif cara pandang seseorang terhadap pemerkosaan, perempuan, dan perilaku seksual menyimpang. Revolusi seksual memang sudah diluncurkan, dan masyarakat mau dipersiapkan untuk menerimanya.

Para pemuda Kristen sebagai tulang punggung Gereja hendaknya bijaksana dalam menyikapi berbagai tawaran dunia saat ini. Memang berharap untuk sebuah dunia tanpa masalah, tantangan, dan godaan adalah sebuah utopianisme, dan justru karena itu, orang Kristen dipanggil bukan untuk keluar dari dunia, melainkan menjadi garam dan terang dunia. (MP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar