Protes berbagai elemen masyarakat termasuk pemuda Yahudi terhadap pawai homoseks tahunan di Yerusalem. |
Arak-arakan yang didominasi anak-anak
muda mengiring tiga ekor keledai sebagai protes terhadap pawai
homoseks yang kesepuluh di Yerusalem, kota suci umat Yahudi, Kristen,
dan Islam.
Menurut AFP
beratus-ratus polisi dikerahkan untuk menjaga pawai yang
berlangsung pada hari Kamis lalu itu (2/8), dan diperkirakan
3000 orang mengambil bagian di dalamnya.
Alasan mengapa
dipilih Yerusalem sampai sejauh ini masih samar-samar. Komunitas
agama di Yerusalem melihat bahwa Tel Aviv yang dinobatkan oleh sebuah
maskapai penerbangan milik AS sebagai “kota yang paling ramah
terhadap kaum homoseks di seluruh dunia” adalah tempat yang lebih
tepat untuk penyelenggaraan pawai itu.
“Yerusalem tidak
bisa menanggung kenajisan dan kekejian,” ungkap Baruch
Marzel salah seorang penentang pawai
itu. “Apa yang dilakukan oleh aliran kiri dan sesat ini di
Yerusalem membahayakan seluruh penduduk Yerusalem, merusak kesucian
Yerusalem, dan sebuah bahaya terhadap keberadaan bangsa dan tanah
Israel,” ungkapnya seperti dilansir Israel
National News.
Sementara itu, Lynn
Schusterman, seorang donatur dari AS,
mengatakan dalam pidato pembukaan pawai itu, "Kita harus bekerja
sama untuk mengokohkan Yerusalem sebagai ibukota modern, terbuka dan
mendorong terbentuknya masyarakat yang ramah dan inklusif di seluruh
dunia Yahudi," demikian dilaporkan Times
of Israel.
Tahun 2005 sebuah
aksi kekerasan terjadi sebagai reaksi penolakan terhadap pawai itu,
menyebabkan tiga orang terluka. Namun seperti yang ungkapkan
Michael Oren,
dutabesar Israel untuk Amerika: “Ketika pemimpin-pemimpin agama –
Yahudi, Kristen dan Islam – bersama-sama menuntut penghentian pawai
Gay Pride
tahunan di Yerusalem, negara memastikan bahwa itu terlaksana.”
Sebuah artikel yang
dimuat majalah TIME
diberi judul “Hatred (of Gays) unites
Jerusalem's feuding faiths”
(Kebencian [terhadap kaum homoseks] mempersatukan agama-agama yang
bertikai di Yerusalem). Penolakan masyarakat terhadap indoktrinasi
homoseksualisme terus dikategorisasikan oleh moncong liberalisme
sebagai tindakan kebencian, prasangka dan sebagainya. Namun masalah
ini harus disikapi secara dewasa, seumpama anggapan seorang anak yang
melihat orangtuanya membencinya karena melarangnya bermain pisau.
Berita terkait:
Pawai homoseks di Hanoi, Vietnam
Pencitraan negatif
terhadap penentang indoktrinisasi praktek homoseks (yang bukan
berarti membenci para homoseks) mulai lebih sering muncul di
media-media Asia.
“Untuk sebuah dunia tanpa
diskriminasi seks” adalah tema pawai homoseks di Hanoi, Vietnam,
hari Minggu kemarin (5/8). Kemasannya selain dibuat dengan tujuan memikat
simpati kaum muda untuk melihatnya sebagai trend, juga mengundang negara-negara Asia untuk bersikap "terbuka" terhadap agenda homoseksualis militan.
Masyarakat yang ingin menjauh dari
sikap “mendiskriminasi” akan digiring untuk mengambil posisi
“mendukung” perilaku homoseks sebagai hal yang 'normal'.
“Seks” dalam tema pawai di Vietnam
itu bukan lagi berarti jenis kelamin, yaitu perempuan atau laki-laki,
melainkan perilaku seksual. Jadi “dunia tanpa diskriminasi
seks” maksudnya adalah dunia di mana ekspresi seksual itu dapat
memperoleh kebebasan yang sebebas-bebasnya. Jika ini terwujud,
pikirkan nasib anak-anak yang terus menjadi korban kegilaan nafsu
orang-orang yang melihat anak-anak sebagai objek seks.
Sebuah artikel
di situs LifeSiteNews diberi judul “Sex, sex, sex, sex,
sex” sebuah gambaran tentang bagaimana dunia, tak hanya di
Barat, yang sedang dimabukkan dengan anggur percabulan, lewat iklan,
seni, pertunjukan, komik, majalah, buku, VCD/DVD, yang dapat
ditemukan sampai ke pelosok desa. Semua ini tidak hanya
mengeksploitasi tapi juga membelokkan konsep seksualitas yang adalah
anugerah Allah dalam kehidupan manusia untuk nikmat sebuah keluarga –
secara ideal diposisikan sebagai tempat di mana anak-anak dilahirkan
dan dibesarkan.
Tantangan bagi generasi saat ini dengan
perkembangan teknologi yang ada semakin besar. Para ahli telah
menunjukkan bahwa pornografi dapat mengurangi intelegensia anak-anak,
dan mempengaruhi secara negatif cara pandang seseorang terhadap
pemerkosaan, perempuan, dan perilaku seksual menyimpang. Revolusi
seksual memang sudah diluncurkan, dan masyarakat mau dipersiapkan
untuk menerimanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar