Jennifer Robock Morse (LifeSiteNews) |
Kekritisan masyarakat mengenai hal ini juga tidak bisa dianggap sebagai hal yang mudah, tanpa usaha. Seperti tersirat dalam himbauan GLAAD, media informasi arus utama telah memposisikan diri sebagai bagian dari usaha “equalisasi” itu, seringkali tanpa suara-suara pembanding yang banyak kali harus puas beredar di Facebook, Blogger, atau forum komunikasi online lainnya. Masyarakat mau tidak mau harus melakukan PR-nya sendiri dengan melakukan penelitian kritis tentang perkembangan sosial di masa sekarang ini serta efeknya di masa yang akan datang.
Dalam profil GLAAD dikutip ungkapan Morse yang mengatakan:
“Ketika perbudakan dihapuskan, semua budak menjadi laki-laki dan perempuan merdeka. Ketika perempuan memperoleh hak untuk memilih, diskriminasi berakhir dengan pemilihan berikutnya. Tetapi anak-anak dalam pernikahan sesama jenis, situasinya akan berbeda. Ketika kita sadar 30 tahun dari sekarang dan melihat bahwa kita telah melakukan kejahatan yang besar, tidak ada seorang anak pun yang lahir [dan hidup] tanpa ayah atau tanpa ibu dalam pernikahan sesama jenis akan memperoleh orangtuanya yang hilang. Hanya pencegahan yang dapat melindungi hak-hak anak. Samaran halus dari kesetaraan pernikahan tidak akan memperdaya siapapun, tidak juga itu bisa menebus kesalahan yang dilakukan hari ini.”
“Ketika perbudakan dihapuskan, semua budak menjadi laki-laki dan perempuan merdeka. Ketika perempuan memperoleh hak untuk memilih, diskriminasi berakhir dengan pemilihan berikutnya. Tetapi anak-anak dalam pernikahan sesama jenis, situasinya akan berbeda. Ketika kita sadar 30 tahun dari sekarang dan melihat bahwa kita telah melakukan kejahatan yang besar, tidak ada seorang anak pun yang lahir [dan hidup] tanpa ayah atau tanpa ibu dalam pernikahan sesama jenis akan memperoleh orangtuanya yang hilang. Hanya pencegahan yang dapat melindungi hak-hak anak. Samaran halus dari kesetaraan pernikahan tidak akan memperdaya siapapun, tidak juga itu bisa menebus kesalahan yang dilakukan hari ini.”
Inti dari pembelaan Morse adalah bahwa “opposing gay-lobby is not anti-gay” (melawan lobby kelompok gay bukanlah anti-gay). Demikian tanggapan Morse:
Menurut website GLAAD saya telah memposisikan diri sebagai seorang “ahli mengenai kehidupan kaum LGBT.” Buktinya saya telah membaktikan karier saya (dan saya tidak mengetahuinya) “untuk membuat hidup kaum LGBT lebih sulit.” Sekalipun pernyataan extreme pada website organisasi ini telah dihapus, organisasi ini tetap mengklaim “prasangka itu tidak berimbang” (bias is not balance). Hal yang tak terpungkiri dari ungkapan ini adalah bahwa sudut pandang saya tidak berdasar sama sekali. Kebijakan sistematis dari GLAAD untuk memberikan label negatif terhadap lawan-lawan mereka tanpa terlibat dalam suatu perdebatan mengurangi kualitas perbincangan di ranah publik.
Ratusan dari ribuan kata yang telah saya ucapkan atau tuliskan, GLAAD menemukan total empat kutipan sebagai bukti atas tuduhan sikap “permusuhan yang ekstrem terhadap seluruh komunitas LGBT” dari saya [kutipan yang dimaksud telah diupdate]. Salah satunya adalah bahwa saya mengatakan perubahan definisi pernikahan akan memarginalisasi para ayah dalam keluarga, karena [figur] ayah akan dilihat sebagai tidak begitu penting. GLAAD beranggapan seakan-akan ini dengan sendirinya merupakan bukti prasangka anti-gay.
Hal ini sangat aneh, karena klaim bahwa redefinisi pernikahan akan memarginalisasi para ayah dari keluarga bukanlah sebuah statement tentang perilaku, karakter atau motif dari orang-orang yang tertarik dengan sesama jenis, laki-laki atau perempuan. Hal itu hanya merupakan prediksi saya sebagai salah satu konsekuensi redefinisi pernikahan. Saya percaya dengan sepenuh hati saya, dan telah berulang-ulang mengatakannya dalam berbagai acara, merujuk pada berbagai alasan dan bukti-bukit. Saya sama sekali tidak malu dengan prediksi ini sedikit pun.
Saya dilatih dalam bidang eknomi. Seorang ekonom mengusut bagaimana perubahan dalam kebijakan publik berdampak pada insentif masyarakat, dan demikian tingkah laku mereka. Jadi adalah lumrah bagi saya untuk bertanya, Apa yang akan terjadi jika kita mengeluarkan syarat gender [laki-laki dan perempuan] dalam pernikahan? Seperti apakah masyarakat setelah 30 tahun dari sekarang ketika agen pemerintah membuat pernyataan seperti ini di Mahkamah Agung Iowa: “Angapan traditional bahwa anak-anak membutuhkan seorang ibu dan seorang ayah untuk bisa tumbuh menjadi seorang dewasa yang sehat dan [mampu] beradaptasi dengan baik sebenarnya lebih didasarkan pada stereotip saja.”
Anda bisa berbeda pendapat dengan saya tentang peluang bahwa membuat pernikahan sebagai sosial institusi yang tak memperhitungkan gender akan memarginalisasi para ayah dalam keluarga...[atau] dengan penilaian saya akan pengaruh negatif yang bisa diakibatkannya. Tapi Anda tidak bisa menyangkal bahwa hal ini adalah sebuah pertanyaan yang serius tentang akibat yang dapat dihasilkan dari merubah hukum dan budaya pernikahan.
Sepertinya GLAAD yakin bahwa mengajukan pertanyaan yang sah tentang kebijakan yang diusungnya secara otomatis membuat seseorang “anti-gay.” Tetapi tentu saya seseorang dapat berbeda pendapat tentang suatu kebijakan yang didukung oleh Asosiasi Pendidikan Nasional tanpa membenci semua guru di Amerika, sama seperti seorang dapat menentang kebijakan yang dikeluarkan oleh NAACP tanpa menjadi seorang rasis.
Me-redefinisikan pernikahan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang pantas diudarakan sepenuhnya. Mencoba untuk menyudutkan orang skeptik (yang ragu) [hanya] mengalihkan perhatian [mengganti topik]. Menyamakan semua [ekspresi] ketidak-setujuan yang disertai bukti sebagai prasangka mengurangi tingkat intelektualitas dari suatu diskusi. Taktik retorik seperti ini tidak menguntungkan usaha lobby dari gay [group]. Pada kenyataannya, orang-orang yang bertanggung jawab dari semua pihak seharusnya mengelakkan strategi-strategi macam ini dan membuka ruang untuk suatu perdebatan yang jujur untuk menjawab pertanyaan tentang perubahan struktur mendasar dari institusi sosial yang paling penting bagi kita.
Point penting dari Morse adalah seseorang tidak perlu menjadi pembenci kaum LGBT untuk menentang revolusi sosial yang pertama-tama akan mengorbankan kepentingan anak-anak. Lagi pula setiap orang Kristen dipanggil untuk mengasihi sesama manusia, siapapun dia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar