Minggu, 25 Maret 2012

Gundrun Kugler: Penekanan terhadap orang Kristen di Eropa lebih banyak dibanding penganut agama lain

Gundrun Kugler
Sebuah laporan baru menunjukkan bahwa orang Kristen sedang menjadi target serangan fisik, intoleransi dan diskriminasi yang didorong oleh motivasi agama dibanding dengan orang yang beragama lain, demikian dilansir oleh WND.

“Statistik menunjukkan luasnya permasalahan ini: 74 persen dari responden di Inggris mengatakan bahwa ada lebih banyak diskriminasi terjadi terhadap orang Kristen dibanding dengan penganut agama lain, demikian diungkapkan Laporan 2011 dari sebuah organisasi yang disebut Observatory on Intolerance and Discrimination against Christian in Europe (Pengamatan terhadap Intoleransi dan Diskriminasi terhadap Orang Kristen di Eropa).

Laporan itu mengungkapkan bahwa 84 persen dari “vandalisme (perusakan) di Prancis dilakukan terhadap tempat-tempat ibadah Kristen. Di Skotlandia, 95 persen dari kekerasan yang berlatar belakang agama diarahkan pada orang Kristen.”

Ditulis oleh Gudrun Kugler, pemilik LSM beralamat di IntoleranceAgainstChristians.eu, laporan tersebut menggaris-bawahi kekerasan terhadap orang Kristen [terjadi] karena mereka adalah orang Kristen. 
“Istilah 'intoleransi' menunjuk pada dimensi sosial, sedang istilah 'diskriminasi' adalah masalah legal (hukum). Perilaku intoleran dan diskriminatif bersumber dari penentangan terhadap ciri-ciri tersendiri dari iman Kristen atau posisi moral yang merupakan bagian tak terpisahkan dari iman Kristen,” demikan dikatakan dalam laporan itu. “Perilaku intoleran dan diskriminatif juga bersumber dari prasangka negatif dan anggapan tertentu terhadap orang Kristen atau Kekristenan secara keseluruhan. Perilaku ini menyebabkan berbagai sektor sosial digunakan sebagai alat intoleransi dan diskriminasi terhadap orang Kristen. Sebagai contoh adalah media [informasi] atau seni (lewat penggambaran negatif secara umum atau pameran-pameran yang tidak senonoh); di level pemerintahan (lewat hukum yang diskriminatif atau keputusan sidang yang dipengaruhi oleh prasangka; di level politik: pengeluaran dari ranah publik, keputusan parlemen, dsb). Intoleransi dan diskriminasi terhadap orang Kristen juga dilakukan secara luas di tempat kerja, akademia, dan di ranah privat dan umum.”

“'Christianophia' (ketakutan pada orang Kristen) atau 'Christophobia' (Ketakutan terhadap Kristus) sekaligus 'anti-Christianism' (sikap bermusuhan terhadap yang berbau Kekristenan) adalah istilah umum yang menggambarkan masalah yang sama,” ungkap laporan tersebut.

[Laporan] tersebut menandai bahwa belum dilakukan penilaian yang mencakup seluruh Eropa mengenai serangan-serangan terhadap orang Kristen, tetapi beberapa survey yang dilakukan secara lokal mendukung kekuatiran terhadap perasaan dan tindakan anti-Kristen.

Di Skotlandia, sebagai contoh, dari 693 tuntutan yang didasari prasangka religius, 2.3 persen dialami oleh kelompok Yahudi dan 2.1 persen terhadap Islam. Sisanya terarah pada Katolik dan Protestant.
Di Prancis, 94 persen pengrusakan (vandalisme) yang berkaitan dengan agama “diarahkan pada situs-situs Kristen,” ungkap laporan tersebut.

Sejumlah organisasi telah melihat meningkatnya masalah ini dan menyetujui, termasuk European Parliament Seminar, yang menyatakan, “Intoleransi anti-Kristen terjadi dalam berbagai bentuk di wilayah Uni Eropa, dan karenanya membutuhkan pendekatan dari berbagai segi.”

Menurut the Christian Institute, sekitar 85 persen “hate crimes” (kejahatan yang dilakukan berdasarkan prasangka ethnik, seksualitas, dsb dan biasanya melibatkan kekerasan) diarahkan terhadap orang Kristen.
Kugler mengatakan, “Kami juga melihat pengekangan profesional terhadap orang Kristen: Pengekangan yang diterapkan terhadap kebebasan nurani menyebabkan profesi-profesi seperti hakim, dokter, perawat, dan bidan termasuk apoteker berlahan-lahan mulai tertutup bagi orang Kristen.”

“Sudah saatnya diadakan debat publik untuk merespon hal ini,” ungkap Kugler. “Guru-guru dan orangtua mendapat masalah ketika mereka tidak setuju dengan etika seksual yang ditetapkan oleh negara. Penelitian kami menunjukkan bahwa hanya dengan pendekatan yang lebih akomodiatif terhadap agama dan lebih khusus Kekristenan, Eropa akan bisa memenuhi nilai kebebasannya yang fundamental.

Laporan ini menuliskan berbagai contoh "Christianophobia" dalam berbagai kategori. 

Di bawah pasal Kebebasan Beragama terdapat sebuah kasus yang melibatkan sebuah biara di Turki yang tanahnya “diambil alih” oleh pemerintah, suatu langkah yang dibenarkan oleh pengadilan negeri. Dan di Spanyol, sebuah panel dari gelas ditaruh untuk menghalangi orang memasuki kapel Universitas Valladolid untuk beribadah. Petugas di situ mengatakan pada para mahasiswa untuk “Pergi sana berdoa di lapangan.”

Di Jerman, seorang ibu dihukum 43 hari penjara karena menolak mendaftarkan anak-anaknya dalam kelas pendidikan seksual eksplisit yang diharuskan oleh negara, dan salah seorang anggota staf dari Perdana Menteri Inggris, David Cameron, menyerukan pelarangan pernikahan di gereja Kristen kecuali mereka juga melakukan “pernikahan” sesama jenis.

Di bawah pasal Kebebasan Berekspresi, seorang guru Prancis dipecat karena menunjukkan murid-muridnya sebuah video tentang aborsi dan mempercakapkan tentang hukum di Prancis mengenai aborsi. Di Polandia sebuah konferensi terapi bertujuan untuk membantu mereka yang bergumul dengan ketertarikan seksual sesama jenis tidak diijinkan menggunakan fasilitas Medical School Foundation di Poznan. Seorang pekerja pos di Inggris menolak untuk mengantarkan rekaman kitab Markus Perjanjian Baru setelah menyebutnya “material yang menyinggung perasaan.” Seorang pemimpin Partai Nasional di Skotlandia, Gordon Wilson, melaporkan bahwa ia didepak dari Dundee Citizens Advice Bureau (Biro Penasihat Warga Negara Dundee) karena ia mendukung pernikahan tradisional.

Tentang Kebebasan Nurani, orangtua angkat di Inggris kehilangan hak untuk menyediakan bantuan bagi anak-anak [yatim piatu] karena mereka menolak mendukung homoseksualitas, sebuah apotek dirusak di Jerman setelah pemiliknya menolak menjual obat aborsi dan komisioner pernikahan di Belanda akan memberikan evaluasi tahunan untuk memastikan bahwa mereka akan memuluskan jalan untuk “pernikahan” sesama jenis.

Beberapa dari masalah yang lebih signifkan datang dari kebijakan “kesetaraan” yang menguntungkan kaum homoseksual, terungkap dalam studi tsb. Suatu kebalikan di Kroasia, seorang “pengajar ketekisasi gereja Katolik di sebuah sekolah dasar Zagbreb dituduh homophobia karena mengatakan apa yang diajarkan oleh gereja Katolik dalam kelas katekisasi.”

Di level internasional, [komputer] Apple menekan kepelbagaian dengan menutup dua aplikasi Kristen di iPhone, dan organisasi-organisasi Katolik di Inggris diperintahkan untuk menerima adopsi [pasangan] homoseks atau ditutup.

Masalah lebih jauh datang dari intoleransi masyarakat terhadap Kekristenan dan pengucilan orang Kristen dari urusan publik, ungkap laporan tsb.

Penistaan terhadap Kekristenan mendapat sorotan dalam kasus di Polandia dimana kaum homoseks fans sepakbola menuntut tempat duduk terpisah untuk pertandingan tahun 2012.

Diungkapkan oleh laporan ini, “Editor dari Associated Press Sports, Terry Taylor, melaporkan permohonan tersebut dengan komentar ini: 'Homophobia juga tetap tertanam kuat di Polandia karena warisan komunisme yang memperlakukan homoseksualitas sebagai tabu dan pengajaran gereja di negara dengan didominasi oleh Roma Katolik.”

Ditambahkan mengenai kasus di Polandia, “Kedutaan Amerika di bawah administrasi Obama mengeluh bahwa ajaran Gereja Katolik merupakan sumber utama dari 'homofobia' di negara yang sebagian besarnya adalah Katolik.”

Juga dikutip sejumlah kasus “kebencian,” seperti kejadian di Belgia di mana seorang petugas Katolik dilempar kue, jendela pecah di Austria setelah kegiatan pro-life (memperjuangan hak hidup untuk anak dalam kandungan), kebakaran di sebuah gereja Spanyol dan perusakan makam di Prancis.

“Orang Kristen seharusnya tidak dimarginalisasi atau didiskriminasi karena [Kekristenan] merupakan warisan dari kelompok agama yang berperan di masa lalu, dan masih sampai saat ini, [memegang] peran yang relevan,” ungkap laporan tersebut. 

“Agama, dan terlebih lagi iman Kristen, adalah aset berharga dari sebuah masyarakat. Masyarakat religius mempunyai gaya hidup yang lebih sehat dan harapan hidup yang lebih tinggi; mempunyai kemungkinan yang lebih kurang untuk mengalami depresi, mempunyai pernikahan yang lebih stabil, mempunyai kemungkinan yang lebih kurang untuk terlibat dalam kegiatan kriminal, dan lebih murah hati dalam menyumbang untuk hal kebaikan bersama,” ungkap laporan ini. “Agama seharusnya ditumbuhkan dan didorong maju, bukan dikekang atau ditekan.”***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar