Saya biasanya cuma tersenyum. Dalam hati saya bergumam, “Ada juga hal-hal baik yang bisa dicontoh dari Forum Front Pembela Islam.”
Saya bukannya mau membela FPI, seperti terkesan dari ungkapan Menteri Dalam Negeri baru-baru ini.
Memang, sebuah ormas kontroversial, FPI mengundang simpati dan antipati. Paling banyak terdengar adalah antipati.
Hampir setiap hari di Facebook ada saja yang mengecam FPI. Ada yang dengan nada keras mengutuki, ada yang sekedar meng-copy-paste tautan sebuah artikel di media massa on-line. Tapi FPI tetap saja FPI.
Dan yang menyukainya, menulis pujian di dinding halaman Facebook FPI.
Di Facebook, sementara banyak orang cenderung mati di kisah love-hate FPI, ada juga yang mencoba mengkritisi ormas ini secara lebih mendalam; menelisik kemungkinan keterkaitannya dengan entitas asing. Sebuah counter-intelegence, katanya.
Saya tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Memang conspiracy theory selalu diterima seperti dongeng: menarik untuk didengar tanpa keinginan untuk percaya.
Namun masalah entitas asing memang sudah pasti ada riak-riaknya. Terutama setelah ketua KPK menyoroti bahwa sebagian besar sumber daya alam Indonesia dikuasai asing.
Pemilu 2014 akan kembali membawa Indonesia pada momentum sejarah yang sangat krusial. Itu sebabnya, tindak tanduk FPI perlu diperhitungkan.
FPI, sebagai organisasi berbasis massa, mencari dan mendulang dukungan melalui kegiatan-kegiatan yang mengundang simpati umat Muslim konvensional: seperti razia di bulan Ramadhan (yang mengundang prahara itu), protes terhadap pelaksanaan Miss World 2013, termasuk pembubaran sejumlah pertemuan yang dinilai beragenda 'asing'.
Di samping itu juga, FPI getol bermain di isu-isu sensitif lainnya.
Paling mencolok adalah masalah menyangkut kebebasan beragama. Kesannya FPI sengaja ingin memancing reaksi dari umat beragama lainnya dengan aksi dan pernyataannya yang memang sering menyinggung.
Kalau tidak diantisipasi, reaksi yang muncul dari situ akan menimbulkan instabilitas. Kelanjutannya adalah masyarakat dikotak-kotakkan (berdasarkan label agama kemudian suku/etnis), lalu dibentur-benturkan (sama seperti di Mesir, Suriah, Nigeria, Kenya, dsb.)
Itu adalah skenario terburuk.
Tapi bisa saja FPI hanya merupakan sebuah ormas yang mencoba mengekspresikan nafas islami (yang dijamin konstitusi) di negara Pancasila ini.
Sekalipun tentunya banyak yang merasa mereka bisa menemukan cara yang 'lebih baik', atau mungkin lebih kreatif.
Yang paling penting di sini adalah kewaspadaan. FPI mungkin akan tetap seperti FPI saat ini: ia dibenci dan dicintai. Tapi rasa saling percaya itu perlu dibangun antar-masyarakat beradab, supaya jangan ada yang dengan licik dan kejam menciptakan kesempitan untuk mendapatkan kesempatan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar