INGGRIS, London (MP) --Farhah
(bukan nama sebenarnya) berumur 12 tahun ketika ia diperkosa pacarnya
yang lebih tua. Pacarnya itu mengambil foto dirinya dan mulai
mengancamnya supaya mau melakukan hubungan badan dengan
teman-temannya yang lain.
Pada usia 13 tahun, Farhah sering dicecoki alkohol dan narkoba sehingga sejumlah laki-laki dapat melecehkan tubuhnya, tak jarang untuk dibayar.
Kisah Farhah, seorang gadis berlatar-belakang Pakistan, dan sederet anak perempuan lainnya dari komunitas Asia di Inggris, mendapat perhatian luas setelah organisasi Jaringan Perempuan Muslim Inggris mempublikasikan sebuah penelitian berjudul: Unheard Voices: The Sexual Exploitation of Asian Girls and Young Women (suara yang tak terdengar: eksploitasi seksual terhadap anak perempuan dan pemudi Asia).
Laporan itu memuat berbagai tindak kejahatan para pedofil terhadap perempuan berusia 13-14 tahun.
Pada 2010-2011 sejumlah 2409 anak perempuan dan pemudi mengaku menjadi korban eksploitasi seksual dalam kelompok atau geng.
Tragisnya, para pelaku seringkali mempunyai kedekatan dengan para korban.
Laporan itu menunjukkan bahwa para pelaku biasanya berasal dari kelompok suku yang sama, dan para korban seringkali mengalami pelecehan pertama kali di rumah mereka atau oleh seorang “pacar” yang lebih tua dan kemudian oleh teman-teman “pacar” itu.
Ada juga pelaku pelecehan yang merupakan pimpinan keagamaan.
Pada usia 13 tahun, Farhah sering dicecoki alkohol dan narkoba sehingga sejumlah laki-laki dapat melecehkan tubuhnya, tak jarang untuk dibayar.
Kisah Farhah, seorang gadis berlatar-belakang Pakistan, dan sederet anak perempuan lainnya dari komunitas Asia di Inggris, mendapat perhatian luas setelah organisasi Jaringan Perempuan Muslim Inggris mempublikasikan sebuah penelitian berjudul: Unheard Voices: The Sexual Exploitation of Asian Girls and Young Women (suara yang tak terdengar: eksploitasi seksual terhadap anak perempuan dan pemudi Asia).
Laporan itu memuat berbagai tindak kejahatan para pedofil terhadap perempuan berusia 13-14 tahun.
Pada 2010-2011 sejumlah 2409 anak perempuan dan pemudi mengaku menjadi korban eksploitasi seksual dalam kelompok atau geng.
Tragisnya, para pelaku seringkali mempunyai kedekatan dengan para korban.
Laporan itu menunjukkan bahwa para pelaku biasanya berasal dari kelompok suku yang sama, dan para korban seringkali mengalami pelecehan pertama kali di rumah mereka atau oleh seorang “pacar” yang lebih tua dan kemudian oleh teman-teman “pacar” itu.
Ada juga pelaku pelecehan yang merupakan pimpinan keagamaan.
Laporan
itu turut menyoroti kasus di mana anak laki-laki dibayar oleh pria
yang lebih tua untuk mencari gadis-gadis yang riskan dan
memperkenalkannya pada mereka.
Shaista Gohir, penulis laporan ini, mengatakan, “Seorang gadis mengungkapkan pada kami bahwa para supir taksi berkendara di luar sekolah untuk melihat gadis cantik, memperhatikan jalan pulang mereka, kemudian menelpon adik atau sepupu yang seusia untuk menemuinya di jalan, seolah-olah sebuah kebetulan, dan mengajaknya berbincang, mencari kenal, dan berusaha menjadi pacarnya...”
Alkohol dan narkoba umumnya digunakan untuk memastikan para korban tidak ingat telah dilecehkan sehingga tak melapor.
86% kasus melibatkan pria yang bergerak dalam kelompok, ada juga yang mengurusi kencan on-line.
Laporan ini menunjukkan sejumlah faktor yang melanggengkan tindak kejahatan pelecehan anak dan perempuan.
Yang pertama adalah ancaman (blackmail), yaitu para pelaku kejahatan berupaya untuk mengontrol korban dengan mengancam akan mempermalukannya di tengah masyarakat. Hal ini diperparah oleh kurangnya kesadaran masyarakat tentang adanya pelecehan anak.
Menurut Shaista, meningkatkan kesadaran masyarakat, orangtua – dan anak laki-laki – adalah kunci untuk menghadapi masalah ini.
“Jelas kita tidak ingin anak laki-laki menjadi pedofil atau predator seksual,” ungkap Shaista mengingatkan bahwa mereka perlu diperingatkan mengenai hal ini.
Masyarakat perlu memahami modus operandi tindak kejahatan terorganisir yang menargetkan anak dan perempuan.
Menjaga rahasia (demi martabat) dengan tidak melaporkan tindakan pelecehan seksual akan membuat pelaku kejahatan ini bertindak lebih percaya diri.
Menurut Shaista kejahatan ini akan surut jika para pelaku dihukum dan masyarakat menyuarakan betapa jahatnya praktek ini.
Kenyataannya masih kurang dari harapan. Tapi upaya ke arah itu sudah mulai bertumbuh.
Shaista Gohir, penulis laporan ini, mengatakan, “Seorang gadis mengungkapkan pada kami bahwa para supir taksi berkendara di luar sekolah untuk melihat gadis cantik, memperhatikan jalan pulang mereka, kemudian menelpon adik atau sepupu yang seusia untuk menemuinya di jalan, seolah-olah sebuah kebetulan, dan mengajaknya berbincang, mencari kenal, dan berusaha menjadi pacarnya...”
Alkohol dan narkoba umumnya digunakan untuk memastikan para korban tidak ingat telah dilecehkan sehingga tak melapor.
86% kasus melibatkan pria yang bergerak dalam kelompok, ada juga yang mengurusi kencan on-line.
Laporan ini menunjukkan sejumlah faktor yang melanggengkan tindak kejahatan pelecehan anak dan perempuan.
Yang pertama adalah ancaman (blackmail), yaitu para pelaku kejahatan berupaya untuk mengontrol korban dengan mengancam akan mempermalukannya di tengah masyarakat. Hal ini diperparah oleh kurangnya kesadaran masyarakat tentang adanya pelecehan anak.
Menurut Shaista, meningkatkan kesadaran masyarakat, orangtua – dan anak laki-laki – adalah kunci untuk menghadapi masalah ini.
“Jelas kita tidak ingin anak laki-laki menjadi pedofil atau predator seksual,” ungkap Shaista mengingatkan bahwa mereka perlu diperingatkan mengenai hal ini.
Masyarakat perlu memahami modus operandi tindak kejahatan terorganisir yang menargetkan anak dan perempuan.
Menjaga rahasia (demi martabat) dengan tidak melaporkan tindakan pelecehan seksual akan membuat pelaku kejahatan ini bertindak lebih percaya diri.
Menurut Shaista kejahatan ini akan surut jika para pelaku dihukum dan masyarakat menyuarakan betapa jahatnya praktek ini.
Kenyataannya masih kurang dari harapan. Tapi upaya ke arah itu sudah mulai bertumbuh.
Jelas bahwa tidak boleh ada yang dipermalukan
karena menjadi korban suatu tindak kejahatan.
Orang yang mempermalukan korban kejahatan adalah pengecut yang menghindar dari melakukan konfrontasi dengan para pelaku tindakan kriminal. Hal ini dilakukan dengan kembali menjadikan korban kejahatan menjadi korban stigma, marginalisasi (peminggiran), atau tindakan kekerasan.
Penting menjadi perhatian bagi para perempuan dan anak, serta masyarakat pada umumnya, supaya dapat mengambil tindakan pencegahan termasuk pembelaan terhadap mereka yang menjadi korban, supaya tidak terus diperbudak oleh para kriminal dan dikungkung dalam tindakan masyarakat yang tidak adil.
Masyarakat/komunitas hidup bersama perlu menjadi jaringan hidup yang mendampingi, melindungi, dan membantu pemulihan para korban kejahatan. [+]
Sumber
Orang yang mempermalukan korban kejahatan adalah pengecut yang menghindar dari melakukan konfrontasi dengan para pelaku tindakan kriminal. Hal ini dilakukan dengan kembali menjadikan korban kejahatan menjadi korban stigma, marginalisasi (peminggiran), atau tindakan kekerasan.
Penting menjadi perhatian bagi para perempuan dan anak, serta masyarakat pada umumnya, supaya dapat mengambil tindakan pencegahan termasuk pembelaan terhadap mereka yang menjadi korban, supaya tidak terus diperbudak oleh para kriminal dan dikungkung dalam tindakan masyarakat yang tidak adil.
Masyarakat/komunitas hidup bersama perlu menjadi jaringan hidup yang mendampingi, melindungi, dan membantu pemulihan para korban kejahatan. [+]
Sumber
http://www.aljazeera.com/indepth/features/2013/09/report-rising-sexual-abuse-uk-minorities-2013926154815405654.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar