Seorang petugas keamanan tampak berjaga-jaga pasca peledakan bom rakitan di Vihara Ekayana, Jakarta (foto: metronewstv). |
MP -- “Siapa pelaku pengeboman Vihara?”
demikian judul liputan video dari DetikTV yang mengulas tentang kasus
pemboman Vihara Ekayana, Jakarta pada Minggu 4/8/13.
Dalam video yang diup-load tanggal 6
Agustus lalu itu Sydney Jones, seorang analis konflik, menduga bahwa
motif para pelaku kemungkinan adalah balas dendam terkait situasi
yang dialami oleh etnik Rohingya, Myanmar. Bukan mengada-ngada,
menurut laporan itu sejak September 2012 sudah ada empat orang yang
ditahan atas kasus terorisme dengan motif yang sama.
Namun, menurut Jones membalas dendam
terhadap pemerintah Mynmar atau kamp Buddha di Indonesia adalah hal
yang “goblok.”
“Untuk apa?” tanyanya dalam liputan
video itu.
Namun, ada sisi lain yang perlu
dieksplorasi.
Bagaimana justru jika pelaku dan otak
di belakang tindakan barbarik itu justru adalah orang pintar, yang
bukan karena “goblok” lalu menyerang tempat ibadah umat Buddha di
Indonesia, melainkan karena ingin bermain-main dengan teori
sosio-psikologi, ingin menciptakan antipati dan permusuhan antar sesama pemeluk
agama (mungkin karena tak nyaman dengan filosofi Pancasila?)
Ini tentu saja merupakan dugaan.
Biarkan pihak kepolisian melakukan tugasnya. Bukankah Indonesia sudah
menikmati masa-masa relatif aman berkat kinerja mereka yang semakin
meningkat.
Persoalan yang menjadi lebih penting
adalah bagaimana masyarakat menanggapi peristiwa-peristiwa menyedihkan semacam ini.
Masyarakat harus pintar, jangan
“goblok” sehingga tidak terprovokasi oleh tindakan-tindakan baik
yang lahir karena “kegoblokan” atau kepintaran oknum-oknum
tertentu.
Umat lintas agama jangan sampai
dicongek untuk menjadi aktor dan aktris dalam drama penjagalan manusia dan pemusnahan tempat tinggal dan tempat beribadah. Jangan
memberi mata dibutakan dengan trik dan intrik.
Jikalau pun mata harus buta, jangan
juga hati turut buta, sehingga orang-orang yang sederhana, yang
pikiran dan perasaannya semata ingin menghidupi keluarga dan
menghadiri ibadah, diubah menjadi monster yang dapat membunuh siapa
saja, sepanjang mereka dilabel A atau B.
Kepolisian kita tahu pintar, dan sama
seperti kasus Bali, J.W. Marriot, dsb, mereka akan memecahkan kasus
ini.
Mereka akan membawa ke pengadilan para
pelaku dan otak di belakang tindakan yang menodai sebuah hari besar
agama dan sebuah tempat ibadah.
Namun, karena polisi pintar, hendaklah
para pengayom dan pelindung masyarakat ini punya hati yang sederhana,
karena anak-anak negeri ini ibarat sebuah keluarga yang baginya
ibadah adalah bagian hidup yang membawa ketentraman jiwa dalam dekat dengan sang Pencipta, semangat
bekerja, dan kecintaan pada alam. (+)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar