Rabu, 07 Agustus 2013

Pelaku bom Vihara Ekayana: Apakah orang bodoh atau orang pintar?

Seorang petugas keamanan tampak berjaga-jaga pasca peledakan bom rakitan
di Vihara Ekayana, Jakarta (foto: metronewstv).
MP -- “Siapa pelaku pengeboman Vihara?” demikian judul liputan video dari DetikTV yang mengulas tentang kasus pemboman Vihara Ekayana, Jakarta pada Minggu 4/8/13.

Dalam video yang diup-load tanggal 6 Agustus lalu itu Sydney Jones, seorang analis konflik, menduga bahwa motif para pelaku kemungkinan adalah balas dendam terkait situasi yang dialami oleh etnik Rohingya, Myanmar. Bukan mengada-ngada, menurut laporan itu sejak September 2012 sudah ada empat orang yang ditahan atas kasus terorisme dengan motif yang sama.

Namun, menurut Jones membalas dendam terhadap pemerintah Mynmar atau kamp Buddha di Indonesia adalah hal yang “goblok.”

“Untuk apa?” tanyanya dalam liputan video itu.

Namun, ada sisi lain yang perlu dieksplorasi.

Bagaimana justru jika pelaku dan otak di belakang tindakan barbarik itu justru adalah orang pintar, yang bukan karena “goblok” lalu menyerang tempat ibadah umat Buddha di Indonesia, melainkan karena ingin bermain-main dengan teori sosio-psikologi, ingin menciptakan antipati dan permusuhan antar sesama pemeluk agama (mungkin karena tak nyaman dengan filosofi Pancasila?)

Ini tentu saja merupakan dugaan. Biarkan pihak kepolisian melakukan tugasnya. Bukankah Indonesia sudah menikmati masa-masa relatif aman berkat kinerja mereka yang semakin meningkat.

Persoalan yang menjadi lebih penting adalah bagaimana masyarakat menanggapi peristiwa-peristiwa menyedihkan semacam ini.

Masyarakat harus pintar, jangan “goblok” sehingga tidak terprovokasi oleh tindakan-tindakan baik yang lahir karena “kegoblokan” atau kepintaran oknum-oknum tertentu.

Umat lintas agama jangan sampai dicongek untuk menjadi aktor dan aktris dalam drama penjagalan manusia dan pemusnahan tempat tinggal dan tempat beribadah. Jangan memberi mata dibutakan dengan trik dan intrik.

Jikalau pun mata harus buta, jangan juga hati turut buta, sehingga orang-orang yang sederhana, yang pikiran dan perasaannya semata ingin menghidupi keluarga dan menghadiri ibadah, diubah menjadi monster yang dapat membunuh siapa saja, sepanjang mereka dilabel A atau B.

Kepolisian kita tahu pintar, dan sama seperti kasus Bali, J.W. Marriot, dsb, mereka akan memecahkan kasus ini.

Mereka akan membawa ke pengadilan para pelaku dan otak di belakang tindakan yang menodai sebuah hari besar agama dan sebuah tempat ibadah.


Namun, karena polisi pintar, hendaklah para pengayom dan pelindung masyarakat ini punya hati yang sederhana, karena anak-anak negeri ini ibarat sebuah keluarga yang baginya ibadah adalah bagian hidup yang membawa ketentraman jiwa dalam dekat dengan sang Pencipta, semangat bekerja, dan kecintaan pada alam. (+)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar