MP – Identitas etnis dan agama adalah dua topik populer dalam ilmu sosial (social science). Para ahli bidang ini telah menjelajahi berbagai aspek yang menyebabkan keduanya mendapat tempat yang signifikan dalam masyarakat di berbagai belahan dunia.
Istilah “blind loyalties” (lit. kesetiaan yang buta) turut disebut sebagai bagian dari kedua identitas manusia tersebut. Manusia rela berkorban segalanya ketika identitas etnik atau agamanya diganggu.
Itu sebabnya isu etnik dan agama adalah isu yang sangat sensitif. Sedemikian sensitif sehingga “kesetiaan yang buta” itu pun rentan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan; dan itu biasanya menyangkut keserakahan ekonomi, dominasi politik, sampai pada kebencian terhadap agama.
Telah lama media massa dianggap sebagai corong kebenaran; memaparkan fakta dan peristiwa; sebagai sumber informasi yang membawa penerangan bagi masyarakat.
Imej ini telah berubah 180 derajat.
Di Amerika Serikat (AS), Gallup poll menunjukkan bahwa 60% masyarakat AS tidak percaya pada pemberitaan media televisi arus utama.
Sebuah pertanyaan di Yahoo!answer adalah “Apakah Anda lebih percaya media arus utama, blog, atau talk radio?” Jawaban terbaik yang dipilih adalah: “Blog dan talk radio sudah bermuatan kepentingan (biased), media arus utama tidak jauh berbeda.
“Saya mempertimbangkan berita dengan melihat beberapa sumber (beberapa media arus utama: televisi, koran, terbitan online) baru saya membuat penilaian sendiri.”
Benarlah apa yang ditulis Joecutlas (April 22, 2013), “Anyone that does not acknowledge that the mainstream media has an agenda is not being honest with themselves” (setiap orang yang tidak mengakui bahwa media arus utama memiliki agenda adalah tidak jujur terhadap diri mereka sendiri) (ireport.cnn.com)
Kenyataannya adalah tidak hanya media arus utama yang mempunyai agenda atau kepentingan.
Baik blog, radio, atau media lainnya yang menjangkau masyarakat mempunyai kepentingan dan agenda.
Pertanyaannya adalah agenda dan kepentingan apa yang mereka wakili. (Itu sebabnya, saya setuju jawaban terbaik yang dipilih di Yahoo!answer).
Dalam berbagai pemberitaan media besar yang meliput konflik-konflik horizontal, kita dapati bahwa konflik-konflik itu sering ditaruh dalam kerangka “genosida” (pembantaian etnik) atau perang agama, termasuk yang paling luas dilakukan adalah religious profiling, seperti yang nampak dalam istilah: Islamis, ultra orthodoks Yahudi, Kristen konservatif, Buddhist mob, Hindu radikal, dsb.
Istilah-istilah ini cenderung menyederhanakan masalah dan terkesan dipakai serampangan, jika bukan dengan maksud tersembunyi untuk menyudutkan komunitas etnik dan agama.
Istilah-istilah ini cenderung menyederhanakan masalah dan terkesan dipakai serampangan, jika bukan dengan maksud tersembunyi untuk menyudutkan komunitas etnik dan agama.
Kelompok-kelompok yang terlibat konflik memang bisa memakai nama agama atau etnik, namun sebuah pertikaian yang disulut oleh kepentingan politik dan ekonomi seharusnyalah tidak disebut sebagai pertikaian etnik atau agama, atau dilabel dengan label agamais.
Sayangnya sejumlah media Indonesia arus utama masih berkutat dengan kebiasaan copy-paste berita luar negeri.
Pengaruhnya terhadap masyarakat pembaca, terutama yang memiliki ikatan kuat terhadap identitas etnik dan agama, tidak bisa dianggap remeh.
Contoh kasus adalah pembunuhan warga Myanmar (Burma) di kantor imigrasi Sumatera dan pemboman vihara di Jakarta baru-baru ini. Keduanya berkaitan dengan pemberitaan media mengenai konflik komunal yang terjadi di Myanmar, yang telah direduksi menjadi konflik antar agama dan etnis.
Media harus bisa lebih baik dalam melakukan pemberitaan, sehingga tidak terjebak dalam mengabadikan konflik kemanusiaan, atau lebih parah lagi secara sengaja melakukannya lewat pemberitaan provokatif.
Masyarakat juga perlu mengingat “jawaban terbaik” di atas. Tidak bisa hanya mendengar atau melihat laporan berita dan kemudian terprovokasi dengan “blind loyality.”
Kecintaan dan kebanggaan terhadap etnis dan agama sebenarnya tak harus buta. Semua itu dapat dan seharusnya datang dari kesadaran dan pilihan intelektual kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar