Akar dari krisis ini terdapat dalam “nilai moral yang hanya mementingkan untuk memiliki (having), yang tercermin dalam budaya keserakahan, dan mengaburkan pentingnya [nilai] ada (being); [termasuk] sangat kurangnya nilai kebenaran dalam kejujuran dan transparansi dalam kegiatan ekonomi.
“Selanjutnya krisis ini menunjukkan betapa kurangnya komponen etis dalam pemikiran ekonomi.
“Tujuan dari sebuah tatanan ekonomi adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, menegaskan martabat kemanusiaan dari segala bangsa, masing-masing diciptakan menurut Gambaran Ilahi.”
Menurut pandangan para delegasi yang penting di antara solusi yang ditawarkan untuk mengatasi krisis ini adalah mendorong pemahaman ekonomi “cukup” sebagai lawan dari konsumsi takterpuaskan [konsumerisme]. Dan untuk supaya ini dapat terjadi diperlukan “diperlukan tingkat pembatasan diri (self-limitation)” dan “kesederhanaan (modesty)” dan “penatalayanan yang bertanggung jawab.”
Inti dari “tatanan ekonomi yang adil adalah penegasan akan kekuasaan dan pemeliharaan dari Tuhan pencipta alam semesta,” yang adalah sumber dari segala kekayaan yang diberikan pada umat manusia “untuk kebaikan bersama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar